kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

RUU reformasi perpajakan singgung ekonomi digital, ini kata pengamat pajak


Kamis, 05 September 2019 / 21:30 WIB
RUU reformasi perpajakan singgung ekonomi digital, ini kata pengamat pajak
ILUSTRASI. Ilustrasi Pajak


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Dalam RUU tersebut juga membahas soal pajak ekonomi digital. 

Direktur Jendral Pajak Robert Pakpahan mengatakan kaitannya dengan ekonomi digital, RUU tersebut membahas tentang pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik. 

Baca Juga: Bila PPh Badan terus diturunkan, negara berpotensi kehilangan Rp 87 triliun

Dalam RUU menetapkan tarif definisi Badan Usaha Tetap (BUT) tidak hanya berdasarkan physical presence tapi juga berdasarkan significant economic presence atau Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) yang mempunyai aktifitas jual-beli barang atau jasa di Indonesia . 

“Tarif dan dasar pengenaan pajak sesuai ketentuan pajak penghasilan,” ujar Robert di kantor DJP, Kamis (5/9).

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita) Yustinus Prastowo mengatakan sepanjang ada manfaat ekonomi yang signifikan diperoleh oleh SPLN tesebut, maka memenuhi syarat sebagai BUT.

Selanjutnya jika sudah masuk ke dalam BUT, SPLN nanti akan ditentukan apakah masuk ke dalam kriteria significant economic presence. “Ini terkait dua pilar yg direkomendasikan OECD waktu G-20 di Jepang,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id, Kamis (5/9).

Baca Juga: Dikritik Bank Dunia soal insentif pajak, begini tanggapan Kemenkeu

Adapun kriteria yang dimaksud Yustinus bisa dari kontribusi Indonesia terhadap pendapatan dan keuntungan SPLN, maupun value creation atau nilai tambah yang diperoleh dari aktivitas di Indonesia.

Namun sampai saat ini OECD dan G20 belum menyepakati satu skema tunggal. Maka, Indonesia sebagai anggota dibebaskan memilih.

Menurut Yustinus dokumen OECD Public Commentary - Addressing the Tax Challenges of the Digitalisation of the Economy 2019 yang dirilis sebelumnya bisa menjadi rujukan.

Baca Juga: Ini dua poin utama dalam RUU Perpajakan

Yustinus mengimbau sebelum bertolak lebih jauh, pemerintah harus merumuskan tujuan yang jelas dalam memajaki ekonomi digital, apakah ingin mendapatkan penerimaan negara yang sebesar-besarnya atau membangun sistem perpajakan yang ideal.

Kata dia sistem perpajakan yang ideal harus memenuhi unsur keadilan, bukan mementingkan semata-mata penerimaan negara. Inilah ciri pedang bermata dua sistem perpajakan yang harus diwaspadai. 

Dia memberikan contoh pengenaan Digital Service Tax/DST dalam proposal Uni Eropa yang Isu tersebut pernah disinggung oleh Marlies de Ruitter dalam proposal Uni Eropa, terkait.

Menurutnya, pertimbangan negara-negara memilih opsi tersebut hanyalah penerimaan negara saja dan bukan untuk mencari sistem perpajakan yang berkeadilan bagi ekonomi digital. 

Baca Juga: Ditjen Pajak tetapkan dalam keadaan kahar untuk Papua dan Papua barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×