Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan UU No 13 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan mulai dibahas di DPR. Sejumlah pihak, mulai dari serikat pekerja hingga kalangan pengusaha, menyampaikan masukan terhadap draf regulasi anyar ini.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, menekankan perlunya perubahan formulasi penghitungan upah minimum. Ia mengusulkan agar upah minimum sektoral berlaku secara nasional untuk mengurangi kesenjangan upah antardaerah.
“Kesenjangan upah yang begitu mencolok ini tidak adil bagi pekerja secara umum untuk ikut menikmati hasil pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kami dari KSPN ingin mengusulkan, ini agak radikal, yaitu diberlakukannya upah minimum sektoral secara nasional,” kata Ristadi di Gedung Parlemen, Selasa (23/9).
Menurutnya, kebijakan upah minimum nasional yang dipukul rata justru memperlebar jarak antara buruh di daerah dengan upah rendah dan yang sudah tinggi.
Baca Juga: Buruh Tuntut Upah Minimum Naik 8,5%010%, Begini Respon Menaker & Pengusaha
Karena itu, KSPN mengusulkan masa transisi berupa persentase kenaikan lebih besar bagi daerah dengan upah minimum rendah, hingga nantinya bisa diterapkan upah sektoral nasional per sektor industri.
Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat, Roy Jinto, menambahkan bahwa RUU baru ini sebaiknya mewajibkan setiap kabupaten/kota menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Ia menilai aturan saat ini masih memberikan pilihan dengan frasa “dapat”, padahal Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 168 telah menegaskan kewajiban penetapan UMK.
“Karena ini adalah Undang-undang yang baru sesuai dengan Putusan MK No. 168, pertama adalah bahwa upah minimum kabupaten/kota ini kami mengusulkan menjadi wajib bagi daerah yang selama ini upah minimumnya adalah UMK,” ujarnya.
Sementara itu, dari sisi pengusaha, Ketua Kadin DKI Jakarta, Diana Dewi, berharap kemudahan berusaha tetap menjadi prioritas dalam pembahasan RUU Ketenagakerjaan.
Baca Juga: RUU Ketenagakerjaan Mulai Dibahas, Kadin Minta Kemudahan Usaha Jadi Prioritas
Ia menilai iklim usaha erat kaitannya dengan kondisi politik dan dinamika yang berkembang, sehingga dibutuhkan keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha.
“Dalam menjalankan roda usaha, tentu harus ada kesepemahaman antara pengusaha dengan pekerja. Tidak bisa juga pekerja menuntut gono-gini, sementara perusahaan tempatnya bekerja sedang megap-megap,” kata Diana, Rabu (24/9).
Ia juga menekankan pentingnya pelatihan dan pengembangan kompetensi pekerja agar sesuai dengan kebutuhan dunia usaha, serta regulasi ketenagakerjaan yang fleksibel menghadapi perubahan pasar dan teknologi.
Selain itu, pengusaha berharap ada insentif investasi berupa keringanan pajak dan kemudahan perizinan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Putih Sari, memastikan RUU Ketenagakerjaan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025–2026.
Ia menyatakan DPR tidak ingin terburu-buru menuntaskan pembahasan karena masih perlu mendengar masukan lebih luas dari serikat pekerja, pengusaha, hingga akademisi.
Baca Juga: RUU Ketenagakerjaan Dibahas, Serikat Buruh Usul Perubahan Perhitungan Upah Layak
“Kami sesuai tentunya dengan arahan dari pimpinan DPR untuk ini juga menjadi salah satu prioritas dari Komisi IX untuk bisa segera diselesaikan di bidang legislasi. Kita upayakan untuk bisa secepatnya,” kata Putih.
Menurutnya, pendalaman lebih lanjut terhadap berbagai usulan masih diperlukan agar RUU ini dapat benar-benar membentuk ekosistem ketenagakerjaan yang adil, inklusif, dan mampu menjawab tantangan masa depan.
Selanjutnya: Bursa Saudi ke Level Tertinggi Sejak 2020, Dipicu Isu Relaksasi Kepemilikan Asing
Menarik Dibaca: Pelanggan Telkomsel Bisa Semakin Mudah Beli Asuransi Igloo di MyTelkomsel
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News