Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menilai langkah pemerintah membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh dan Satuan Tugas Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) tidak efektif dalam menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan.
Presiden OPSI Saepul Tavip menegaskan, solusi yang lebih konkret adalah menghadirkan payung hukum yang berpihak pada pekerja/buruh melalui undang-undang ketenagakerjaan yang berdiri terpisah dari UU Cipta Kerja, sebagaimana diamanatkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Tanpa payung hukum yang kuat berupa undang-undang, maka segala upaya di hilir akan sia-sia. UU itu menjadi dasar dalam menata iklim hubungan industrial yang ajeg di Indonesia. Itulah yang saya katakan penyelesaian masalah di hulu,” ujar Saepul kepada Kontan, Senin (15/9/2025).
Ia menilai, pasca lahirnya UU Cipta Kerja, iklim hubungan industrial di Indonesia semakin tidak menentu. Pengusaha, buruh, maupun aparat ketenagakerjaan di daerah kini harus merujuk pada tiga sumber hukum utama, yakni UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, UU Cipta Kerja No. 6/2023, serta sejumlah putusan MK, yang dinilainya sulit dipahami dan menimbulkan multitafsir.
Baca Juga: Serikat Pekerja Klaim Penciptaan Lapangan Kerja Tak Sebanding Jumlah Angkatan Kerja
“Contoh paling sederhana adalah kasus di PT Sritex. Sampai saat ini para karyawan masih belum mendapatkan kepastian mengenai hak-haknya, seperti uang pesangon,” jelas Saepul.
Kondisi tersebut juga tercermin pada kasus lain di akar rumput. Pekerja sering menghadapi dilema dalam penerapan aturan ketenagakerjaan, ditambah lagi dengan hubungan kerja yang semakin fleksibel.
Saepul menyoroti status pengemudi ojek online (ojol) yang hingga kini belum jelas dalam hukum ketenagakerjaan, serta praktik magang dan outsourcing yang membuat pekerja semakin rentan terhadap pelanggaran hak.
Menurutnya, keberadaan Dewan Kesejahteraan Buruh dan Satgas PHK hanya akan bersifat ad hoc, menghasilkan rekomendasi tanpa kekuatan hukum mengikat, serta berpotensi tumpang tindih dengan lembaga tripartit maupun Kementerian Ketenagakerjaan.
“Kerja-kerja kedua lembaga tersebut akan overlapping, bahkan dengan fungsi Kemenaker itu sendiri,” kata Saepul.
Selain itu, ia mengingatkan pembentukan lembaga baru justru berpotensi menambah beban anggaran negara dan menjadi ajang bagi-bagi jabatan.
Baca Juga: Usai Bertemu Buruh, Prabowo Komitmen Bahas RUU Ketenagakerjaan dan Perampasan Aset
“Apalagi disebut setingkat menteri, hal ini bisa membuat kabinet Presiden Prabowo semakin gemuk,” imbuhnya.
OPSI mendorong pemerintah segera merealisasikan putusan MK No. 168/PUU-XXI/2023 dengan membentuk UU khusus ketenagakerjaan yang adil, melindungi pekerja, serta memperkuat sistem pengawasan dan penegakan hukum.
Saepul juga menekankan perlunya pembentukan Komisi Pengawasan Ketenagakerjaan yang independen, semacam Kompolnas atau Komisi Yudisial, ketimbang membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh maupun Satgas PHK.
“Sepanjang persoalan di hulu tidak diselesaikan, kesejahteraan buruh hanya akan menjadi mimpi belaka. Bahkan pekerja yang bisa bertahan hingga pensiun pun hanya akan jadi angan-angan,” tandasnya.
Baca Juga: Tindak Lanjut Putusan MK, Pengusaha-Buruh Dorong Pembahasan Revisi UU Ketenagakerjaan
Selanjutnya: PalmCo Bangun Pabrik Gas Biometan dari Limbah Sawit di Simalungun
Menarik Dibaca: Ini Tips Jalan Kaki untuk Menurunkan Berat Badan dari Ahli
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News