Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dominasi Bank Indonesia (BI) atas kepemilikan surat utang pemerintah dinilai bisa memicu rentetan risiko, mulai dari beban neraca keuangan bank sentral, risiko likuiditas, inflasi, hingga menurunkan kepercayaan investor.
Per 1 September 2025, BI tercatat menggenggam 25,13% Surat Berharga Negara (SBN) dengan nilai tembus Rp 1.609,91 triliun. Porsi tersebut jauh lebih besar dibandingkan kepemilikan perbankan maupun investor non-bank.
Terbaru, BI juga akan melakukan burden sharing untuk meringankan beban fiskal pemerintah untuk membiayai program Koperasi Merah Putih dan perumahan rakyat dengan masing-masing biaya bunga 2,15% dan 2,9%. Sayangnya dalam rapat kerja bersama Komite IV DPD RI, BI tidak merinci berapa besar jumlah SBN yang akan diborong, dan sampai terbitnya berita ini, BI juga belum memberikan penjelasan dan rincian terkait jumlah pembelian SBN dalam burden sharing tersebut kepada Kontan.
Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menilai dominasi BI atas SBN hingga melakukan burden sharing, dapat mengganggu keseimbangan neraca bank sentral. Pasalnya, yield SBN yang diperoleh BI lebih rendah, sementara di sisi lain BI harus membayar imbal hasil lebih tinggi pada instrumen pasar uang seperti repo government bonds atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Kondisi ini makin berat dengan adanya skema burden sharing.
“Kalau BI mengalami risiko likuiditas dan amunisi moneter menjadi terbatas, tentu kurang bagus saat terjadi shock ekonomi, baik eksternal maupun internal. Likuiditas dibutuhkan BI sebagai senjata stabilisasi,” ujar Myrdal kepada Kontan, Rabu (3/9/2025).
Baca Juga: Mengenal Burden Sharing yang Direncanakan BI dan Pemerintah, Ini Penjelasan Ekonom
Selain itu, dominasi BI berpotensi meningkatkan risiko investasi atau Credit Default Swap (CDS) Indonesia, karena investor menilai pemerintah terlalu bergantung pada bank sentral, dan bisa merusak market. “Pasti persepsi investor itu negatif, sehingga meningkatkan ketidakpercayaan pasar,” tambahnya.
Myrdal mengingatkan, pemerintah sebaiknya tidak terus mengandalkan burden sharing untuk mencari pendanaan murah. Jika ingin menekan biaya utang, langkah yang tepat adalah mendorong penurunan suku bunga nasional agar yield obligasi bisa lebih rendah. Sebagai contoh, penerbitan Patriot Bond dengan yield 2% bisa berhasil, tapi jika dilakukan berulang tanpa dukungan pasar, dikhawatirkan justru tidak terserap.
Lebih lanjut, Chief Economist PEFINDO, Suhindarto juga menyebut sejumlah risiko dari langkah BI tersebut bagi stabilitas ekonomi.
Pertama, risiko inflasi. Menurut Suhindarto, dampak inflasi dari pembelian SBN oleh BI sangat bergantung pada kondisi ekonomi. Jika dilakukan saat ekonomi kuat dengan inflasi yang sudah tinggi, tambahan likuiditas berpotensi memperburuk inflasi dan bahkan bisa mengarah pada hiperinflasi. Hal ini terjadi karena uang yang disuntikkan BI ke perbankan akan berlipat ganda melalui efek money multiplier.
Baca Juga: Menkeu: Burden Sharing dengan BI Bikin Biaya Pinjaman Koperasi Lebih Murah
“Namun, jika dilakukan ketika ekonomi sedang lemah, langkah ini bisa menjadi suntikan likuiditas yang membantu perputaran ekonomi. Hanya saja, perlu dipastikan dana tersebut benar-benar mengalir ke sektor riil, bukan hanya berhenti di perbankan,” kata Suhindarto kepada Kontan, Rabu (3/9).
Kedua, risiko nilai tukar. Ia menegaskan, pembelian SBN oleh BI pada dasarnya menambah jumlah uang beredar. Jika tidak diimbangi pasokan dolar AS yang cukup, maka rupiah berpotensi tertekan dan mengalami depresiasi.
Ketiga, risiko pendanaan dan yield. Suhindarto menilai, kehadiran BI sebagai pembeli SBN memang bisa menjadi penyangga (buffer) ketika pasokan obligasi pemerintah melimpah. Namun, jika dilakukan berlebihan, hal ini bisa mengganggu mekanisme pasar. Apalagi, yield obligasi pemerintah menjadi acuan (benchmark) bagi pasar obligasi korporasi.
“Jika yield SBN kaku untuk turun, bunga obligasi korporasi juga akan tetap tinggi, meskipun BI sudah memangkas suku bunga,” jelasnya.
Keempat, risiko persepsi pasar. Ia menyebut pembelian SBN yang terlalu besar berpotensi memicu kenaikan Credit Default Swap (CDS) Indonesia. Kenaikan CDS mencerminkan meningkatnya persepsi risiko investor asing terhadap surat utang pemerintah, meski potensinya terbatas. Tapi kalau ada gejolak inflasi dan depresiasi rupiah yang berkepanjangan, outflow asing bisa terjadi.
Lebih lanjut, Suhindarto membandingkan langkah BI dengan kebijakan quantitative easing (QE) yang dilakukan bank sentral AS saat krisis 2008 dan pandemi COVID-19. Bedanya, kata dia, QE dilakukan di tengah suku bunga yang sangat rendah, sementara di Indonesia, pembelian SBN berlangsung ketika suku bunga masih relatif tinggi, meskipun sudah mulai diturunkan bertahap.
Baca Juga: Kurangi Beban Fiskal, Alasan BI Kembali Lakukan Burden Sharing dengan Pemerintah
“Dalam jangka pendek, kebijakan ini memang bisa membantu menurunkan yield dan mendukung transmisi penurunan suku bunga ke sektor riil. Tapi jika ekonomi kembali tumbuh kuat, risiko inflasi yang melonjak tidak bisa dihindari,” tutur Suhindarto.
Bank Sentral dan Pemerintah Perlu Melakukan Mitigasi Risiko
Ekonom Senior INDEF, Fadhil Hasan, menekankan pentingnya burden sharing dijalankan secara efektif dan produktif, dengan imbal hasil memadai dalam jangka pendek, tanpa mengorbankan independensi BI.
Pasalnya, mencetak uang dalam hal ini burden sharing untuk menutup defisit anggaran dan proyek-proyek jangka menengah panjang akan ada resiko yang besar.
"Komunikasi kebijakan yang harus dilakukan BI adalah bahwa kebijakan ini merupakan langkah BI yang melihat pentingnya mendukung pertumbuhan dan memelihara stabilitas ekonomi," ungkapnya,
Ekonom dan Guru Besar Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menambahkan bahwa untuk menghindari dampak negatif burden sharing, seperti inflasi tinggi maupun kenaikan CD, maka BI perlu menegaskan sejak awal bahwa kebijakan ini bersifat sementara dan hanya ditujukan bagi program prioritas seperti koperasi Merah Putih, dan perumahan rakyat.
“Dana harus digunakan untuk output produktif supaya tidak inflatoir. BI dan pemerintah juga harus punya strategi pasti kapan burden sharing ini dihentikan agar kepercayaan investor tetap terjaga dan CDS tidak naik tinggi. Kupon bisa dikembalikan BI ke pemerintah melalui setoran laba. Dalam jangka pendek, jika dana burden sharing belum sepenuhnya terserap, mestinya inflasi tidak akan meningkat,” tegas Budi.
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai masih ada ruang bagi BI karena rasio uang beredar (M2) terhadap PDB Indonesia relatif rendah, yakni 41%. Namun, ia mengingatkan risiko fiskal semakin besar karena rasio pembayaran bunga terhadap belanja APBN sudah mencapai 20%, dan debt service ratio terhadap pendapatan negara mencapai 45%, jauh di atas batas aman.
“Sebaiknya penerbitan SBN harus tetap prudent, baik dari sisi nilai maupun pemanfaatannya. Sebaiknya dana hasil penerbitan digunakan hanya untuk hal-hal produktif yang bisa meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi,” pungkas Wijayanto.
Baca Juga: Burden Sharing Berlanjut, BI Sudah Borong SBN Rp 200 Triliun
Selanjutnya: Vietjet Bukukan Kinerja Positif Semester I-2025, Buka Rute Baru Ho Chi Minh–Manila
Menarik Dibaca: 4 Cara Menghilangkan Blackhead dengan Bahan Alami, Mau Coba?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News