Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID–JAKARTA. Para ekonom menilai mekanisme burden sharing antara Bank Indonesia dengan pemerintah untuk meringankan beban fiskal negara hanya dapat dilakukan dalam kondisi krisis atau force majeure seperti saat pandemi Covid-19.
Rencananya, Bank Indonesia dan pemerintah yang akan melakukan burden sharing tahun ini dalam membiayai program-program APBN seperti Koperasi Merah Putih, hingga perumahan rakyat.
Baca Juga: Menkeu: Burden Sharing dengan BI Bikin Biaya Pinjaman Koperasi Lebih Murah
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman menilai kondisi saat ini bukanlah suatu hal yang mendesak, atau force majeure seperti dilakukannya burden sharing pada saat pandemi Covid-19.
"Burden sharing dalam arti pembelian SBN di pasar perdana atau pembagian beban bunga hanya sah ketika negara berada dalam kondisi krisis," ungkap Rizal Kepada Kontan, Selasa (2/9/2025).
Hal ini diatur secara tegas dalam pasal 36A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), yang menyebutkan bahwa Bank Indonesia baru dapat membeli SBN jangka panjang di pasar perdana jika Presiden menetapkan status krisis atas rekomendasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Artinya, di luar status krisis, jika burden sharing dimaknai kembali sebagai pendanaan langsung APBN, maka berpotensi menabrak ketentuan independensi BI sebagaimana diatur dalam UU BI," ungkap Rizal.
Menurutnya, BI masih memiliki ruang legal untuk mendukung program strategis pemerintah melalui instrumen yang sah di kondisi normal. Misalnya, pembelian SBN di pasar sekunder untuk stabilisasi pasar, atau memberi insentif likuiditas lewat kelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) untuk mendorong kredit perumahan maupun Koperasi Merah Putih.
"Jika pemerintah menafsirkan burden sharing seperti masa pandemi, yaitu menanggung beban bunga dan melakukan pembelian perdana secara langsung, tanpa protokol krisis, maka inilah yang berpotensi melanggar UU dan memunculkan persepsi adanya fiscal dominance," jelas Rizal.
Lebih lanjut Rizal menjelaskan, ada sejumlah regulasi yang menjadi dasar hukum mekanisme burden sharing. Pertama, UU BI No. 23/1999 yang menegaskan prinsip independensi dan larangan memberi pembiayaan langsung kepada pemerintah.
Baca Juga: Burden Sharing Berlanjut, BI Sudah Borong SBN Rp 200 Triliun
Kedua, UU 2/2020 yang lahir saat pandemi, yang menjadi dasar hukum sementara bagi BI untuk melakukan burden sharing melalui skema SKB I–III, di mana BI membeli SBN di pasar perdana dan berbagi beban bunga dengan pemerintah. Namun UU ini bersifat extraordinary dan tidak berlaku permanen setelah pandemi usai.
Ketiga, UU 4/2023 tentang P2SK yang mempertegas dua koridor, yaitu BI boleh membeli SBN di pasar sekunder pada kondisi normal, sementara pembelian di pasar perdana hanya sah dalam status krisis.
Selain itu, UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). mengatur arsitektur KSSK dan tata cara penetapan status krisis, yang menjadi pintu masuk bagi penggunaan burden sharing seperti dalam pasal 36A P2SK.
Dengan demikian, ada kerangka hukum yang jelas di masa normal, dukungan BI harus lewat instrumen sekunder dan makroprudensial, yang mana di masa krisis, baru terbuka ruang bagi burden sharing dengan pendanaan langsung, tentu dengan prosedur formal berupa keputusan Presiden dan SKB Menkeu dan BI.
"Kerangka ini yang seharusnya dijaga agar tidak tumpang tindih atau melanggar prinsip independensi moneter," kata Rizal.
Ia mengingatkan, jika pemerintah memaksakan skema burden sharing ala pandemi di luar status krisis, risiko yuridis dan kredibilitas akan besar. Hal itu bisa menimbulkan persepsi adanya fiscal dominance yang justru melemahkan kepercayaan pasar.
Sebagai jalan aman, Rizal menekankan agar burden sharing dipahami dalam koridor sekunder. BI sendiri sudah menyiapkan insentif likuiditas sekitar Rp80 triliun melalui kelonggaran GWM untuk mendukung program 3 juta rumah, yang sejalan dengan UU.
Namun, ia menegaskan ekspansi likuiditas harus diimbangi dengan operasi moneter ketat agar inflasi dan nilai tukar tetap terkendali. Dari sisi fiskal, koordinasi erat antara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) dan BI diperlukan agar intervensi pasar SBN tidak menimbulkan persepsi negatif terhadap pembiayaan APBN.
“Transparansi komunikasi kebijakan menjadi kunci untuk menjaga kredibilitas moneter dan fiskal sekaligus,” tandasnya.
Baca Juga: Kurangi Beban Fiskal, Alasan BI Kembali Lakukan Burden Sharing dengan Pemerintah
Sementara itu, Kepala Ekonom BCA David Sumual juga mengingatkan kepada pemerintah dan BI agar tetap mengantisipasi potensi risiko yang terjadi dalam melakukan burden sharing.
"Harus diimbangi juga kemampuan produktivitas (setelah menambah utang baru). Karena kalau misalnya begitu saja, tapi tidak ada produktivitas, maka segitu-gitu aja ya (efeknya ke ekonomi)," ungkap David kepada Kontan, Selasa (1/9/2025).
David juga menyampaikan, pemerintah harus mampu menciptakan ekosistem yang mumpuni di dalam negeri untuk menjalankan projek-projek atau program-program prioritas, produk dan barang modalnya tidak diimpor yang justru menguntungkan negara lain.
"Dorong supaya ekosistemnya tercipta, jangan mengandalkan hanya dari produk-produk yang akan mendorong inflasi intinya naik. Pengendalian inflasi juga perlu dilakukan," ungkap David.
Asal tahu saja, Gubernur BI Perry Warjiyo bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan rencana melakukan burden sharing.
“Dan kami juga sepakat untuk pembagian beban burden sharing untuk bunganya, kita sepakatnya separuh-separuh,” tutur Perry dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI, Selasa (2/9/2025).
Sebagai contoh, untuk pendanaan perumahan rakyat, beban bunga ditanggung bersama oleh Kementerian Keuangan dan BI sebesar 2,9%. Sementara untuk koperasi desa Merah Putih, bunga ditetapkan sebesar 2,15%. Sehingga, lanjutnya, bisa mengurangi pembiayaan beban bunga fiskal. Formula yang digunakan untuk menghitung beban bunga tersebut adalah, adalah bunga SBN 10 tahun dikurangi hasil penempatan pemerintah di perbankan, kemudian sisanya dibagi dua.
Selanjutnya: Biaya Bahan Bakar Pertambangan Sampai 35%, Penggunaan EV Dinilai Jadi Solusi
Menarik Dibaca: 5 Aturan Emas Warren Buffett untuk Menghindari Jebakan Keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News