kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi UU KPK dinilai melemahkan, ICW desak Jokowi hentikan pembahasan


Kamis, 05 September 2019 / 18:53 WIB
Revisi UU KPK dinilai melemahkan, ICW desak Jokowi hentikan pembahasan
ILUSTRASI. Segel KPK


Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK. Pasalnya, sejumlah pasal dalam draf revisi UU KPK dinilai melemahkan KPK.

"Dapat dipastikan jika pembahasan ini tetap dilanjutkan untuk kemudian disahkan maka pemberantasan korupsi akan terganggu dan eksistensi KPK akan semakin dilemahkan," kata Kurnia, Kamis (5/9.

ICW mengatakan, terdapat sejumlah isu yang harus dikritisi dalam draft yang beredar di tengah masyarakat. Pertama, pembentukan Dewan Pengawas. Persoalan ini terus menerus hadir dalam naskah perubahan UU KPK, jika melihat lebih jauh maka dapat dikatakan bahwa Dewan Pengawas ini adalah representasi dari Pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam kelembagaan KPK.

Baca Juga: Partai Gerindra sebut revisi UU KPK untuk memberikan kepastian hukum

Kedua, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Isu ini sudah dibantah berkali-kali dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010.

Tentu harusnya DPR paham akan hal ini untuk tidak terus menerus memasukkan isu ini pada perubahan UU KPK. Selain dari itu Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif dalam menentukan konstruksi sebuah perkara agar nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan.

Ketiga, dalam melaksanakan tugas penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Poin ini merupakan sebuah kemunduran bagi pemberantasan tindak pidana korupsi, karena pada dasarnya KPK adalah sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap.

Tentu jika harus berkoordinasi terlebih dahulu akan menghambat percepatan penanganan sebuah perkara yang akan masuk fase penuntutan dan persidangan.

Keempat, penyadapan harus izin dari Dewan Pengawas. Kali ini DPR ingin memindahkan perdebatan, dari mulanya izin Ketua Pengadilan sekarang melalui Dewan Pengawas. Logika seperti ini sulit untuk diterima, karena justru akan memperlambat penanganan tindak pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di KPK.

Baca Juga: DPR sepakat revisi UU MD3 jadi RUU usulan DPR

"Selama ini KPK dapat melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak manapun dan faktanya hasil sadapan KPK menjadi bukti penting di muka persidangan untuk menindak pelaku korupsi. Sederhananya, bagaimana jika nanti Dewan Pengawas itu sendiri yang ingin disadap oleh KPK? Mekanisme itu tidak diatur secara jelas dalam rancangan perubahan," kata Kurnia.

Kelima, KPK tidak lagi lembaga negara independen. Perubahan ini terjadi pada Pasal 3 UU KPK, jika sebelumnya ditegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun kali ini justru berubah menjadi lembaga Pemerintah Pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen.

Keenam, KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara. Dalam Pasal 40 ayat (1) draft perubahan disebutkan bahwa KPK hanya mempunyai waktu 1 tahun untuk menyelesaikan penyidikan ataupun penuntutan sebuah perkara.

Hal ini menunjukkan ketidakpahaman DPR dalam konteks hukum pidana. Patut untuk dicermati bahwa jangka waktu tersebut hanya berlaku untuk masa daluwarsa penuntutan yakni dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP yakni mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.

Baca Juga: Disetujui menjadi RUU usulan DPR, ini poin-poin revisi UU KPK

"Harusnya DPR memahami bahwa setiap perkara memiliki kompleksitas persoalan berbeda. Jika sebuah kasus dipandang rumit, maka sudah barang tentu penyidikan serta penuntutannya membutuhkan waktu yang cukup panjang. Ini semata-mata agar bukti yang diperoleh kuat untuk membuktikan unsur Pasal terpenuhi," ucap dia.

Ketujuh, menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen. Dalam draft perubahan dijelaskan pada Pasal 43 dan 45 bahwa KPK hanya berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik yang berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini mengartikan bahwa kehadiran penyidik independen akan dihilangkan.

Padahal Putusan MK tahun 2016 sudah menegaskan kewenangan KPK untuk mengangkat Penyidik di luar dari institusi Kepolisian atau Kejaksaan. Secara spesifik MK menyebutkan bahwa praktik merekrut penyidik independen merupakan sebuah keniscayaan karena hal yang sama juga dilakukan oleh ICAC Hongkong dan CPIB Singapura.

Lain hal dari itu penting untuk mencegah adanya loyalitas ganda ketika penyidik yang berasal dari insitusi lain bekerja di KPK.

Kedelapan, penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan. Poin ini muncul pada Pasal 70 huruf c yang menyebutkan bahwa pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

Baca Juga: Perang dagang, riset, dan industrialisasi

Hal ini mengartikan perkara yang melebihi waktu 1 tahun maka harus dihentikan. Di sisi lain kita mengetahui bahwa saat ini KPK sedang menangani berbagai perkara dengan skala kerugian negara yang besar. Dapat dibayangkan jika UU ini disahkan maka para pelaku korupsi akan dengan sangat mudah untuk lepas dari jerat hukum.

Kesembilan, KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia. Ini ditegaskan dalam naskah perubahan Pasal 19 yang menyebutkan KPK berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Padahal dalam UU sebelumnya ditegaskan bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Kesepuluh, syarat menjadi Pimpinan KPK mesti berumur 50 tahun. Poin ini dapat dikatakan tanpa adanya argumentasi yang masuk akal. Karena sebelumnya dalam Pasal 29 angka 5 UU KPK disebutkan bahwa usia minimal untuk menjadi Pimpinan KPK adalah 40 tahun.

Tentu ini menutup ruang bagi kaum muda yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pemberantasan korupsi untuk dapat menjadi Pimpinan KPK.

Kesebelas, draft yang beredar tidak ditulis dengan cermat dan terkesan tergesa-gesa. Poin ini didasarkan pada Pasal 37 E yang mengatur mengenai Dewan Pengawas. Pada angka 8 tertulis bahwa Panitia Seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden. Padahal pada bagian ini sedang membahas Dewan Pengawas, bukan Pimpinan.

Senada, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola, menilai seluruh substansi RUU yang diajukan DPR ini berpotensi mengancam independensi KPK yang meliputi beberapa hal.

Pertama, sumber daya manusia KPK tidak lagi mencirikan sebagai sebuah lembaga yang independen. Di dalam RUU KPK, pegawai KPK dikategorikan sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada sistem di bawah kementerian yang membidangi kepegawaian (pemerintah). Poin revisi ini tidak relevan dengan penguatan institusi KPK itu sendiri.

Baca Juga: Presiden Jokowi dinilai mengabaikan kritik publik soal capim KPK

Kedua, Penyelidik hanya berasal dari Polri (pasal 43 ayat 1). Kebijakan ini tidak sejalan dengan penguatan institusi KPK untuk dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. Keberadaan penyelidik dan penyidik yang berasal dari institusi lain justru menimbulkan loyalitas ganda dan konflik kepentingan dalam institusi KPK.

Ketiga, penyelidik dan penyidik KPK harus melalui mekanisme yang didesain oleh institusi kepolisian dan/atau kejaksaan (pasal 43A ayat 1 huruf c dan pasal 45A ayat 1 huruf c). Faktanya selama ini KPK dapat secara mandiri mampu menyelenggarakan rekrutmen terhadap penyelidik dan penyidik tanpa harus melalui institusi kepolisian dan kejaksaan.

Bahkan KPK juga menjalin kerjasama dengan penegak hukum di negara lain terkait dengan rekrutmen penyelidik dan penyidik. Jika proses dan mekanisme pengangkatan penyelidik dan penyidik diwajibkan melalui institusi kepolisian dan kejaksaan, maka kondisi ini juga berpotensi memunculkan konflik kepentingan jangka panjang; sama halnya ketika selama ini banyak pihak mempersepsikan bahwa penyidik KPK haruslah berasal dari institusi penegak hukum lain.

Keempat, Keberadaan Dewan Pengawas dengan segala kewenangan yang diberikan dalam RUU, dapat berpotensi mengintervensi proses pelaksanaan tugas penegakan hukum, baik penyidikan dan penuntutan perkara termasuk dalam hal ini izin penyadapan.

Padahal selama ini sistem pengawasan di internal (melalui Penasihat KPK, Kedeputian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, dan Wadah Pegawai KPK) dan eksternal (peran Presiden, DPR RI, BPK RI, dan masyarakat serta institusi lain yang melakukan audit terhadap KPK).

Baca Juga: KPK tahan direktur utama PTPN III Dolly Pulungan

Kelima, Berdasarkan penelitian TII terkait, kinerja akuntabilitas dan intergritas internal mendapatkan skor baik (78%). Hal ini karena KPK memiliki kewenangan penyadapan yang independen. Mekanisme penyadapan tanpa izin dari institusi lain merupakan kewenangan khusus terhadap kejahatan khusus.

Keberadaan badan antikorupsi yang independen memiliki keleluasaan dalam melaksanakan tindakan pro-yustisia, yang salah satunya memiliki kewenangan melakukan penyadapan tanpa izin yang tidak dimiliki institusi lain. Dalam hal ini juga termasuk kewenangan untuk tidak bisa mengeluarkan surat penetepaan penghentian penyidikan (SP3) terhadap suatu perkara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×