kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45982,12   -8,25   -0.83%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi UU KPK dinilai melemahkan, ICW desak Jokowi hentikan pembahasan


Kamis, 05 September 2019 / 18:53 WIB
Revisi UU KPK dinilai melemahkan, ICW desak Jokowi hentikan pembahasan
ILUSTRASI. Segel KPK


Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

Senada, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola, menilai seluruh substansi RUU yang diajukan DPR ini berpotensi mengancam independensi KPK yang meliputi beberapa hal.

Pertama, sumber daya manusia KPK tidak lagi mencirikan sebagai sebuah lembaga yang independen. Di dalam RUU KPK, pegawai KPK dikategorikan sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada sistem di bawah kementerian yang membidangi kepegawaian (pemerintah). Poin revisi ini tidak relevan dengan penguatan institusi KPK itu sendiri.

Baca Juga: Presiden Jokowi dinilai mengabaikan kritik publik soal capim KPK

Kedua, Penyelidik hanya berasal dari Polri (pasal 43 ayat 1). Kebijakan ini tidak sejalan dengan penguatan institusi KPK untuk dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. Keberadaan penyelidik dan penyidik yang berasal dari institusi lain justru menimbulkan loyalitas ganda dan konflik kepentingan dalam institusi KPK.

Ketiga, penyelidik dan penyidik KPK harus melalui mekanisme yang didesain oleh institusi kepolisian dan/atau kejaksaan (pasal 43A ayat 1 huruf c dan pasal 45A ayat 1 huruf c). Faktanya selama ini KPK dapat secara mandiri mampu menyelenggarakan rekrutmen terhadap penyelidik dan penyidik tanpa harus melalui institusi kepolisian dan kejaksaan.

Bahkan KPK juga menjalin kerjasama dengan penegak hukum di negara lain terkait dengan rekrutmen penyelidik dan penyidik. Jika proses dan mekanisme pengangkatan penyelidik dan penyidik diwajibkan melalui institusi kepolisian dan kejaksaan, maka kondisi ini juga berpotensi memunculkan konflik kepentingan jangka panjang; sama halnya ketika selama ini banyak pihak mempersepsikan bahwa penyidik KPK haruslah berasal dari institusi penegak hukum lain.

Keempat, Keberadaan Dewan Pengawas dengan segala kewenangan yang diberikan dalam RUU, dapat berpotensi mengintervensi proses pelaksanaan tugas penegakan hukum, baik penyidikan dan penuntutan perkara termasuk dalam hal ini izin penyadapan.

Padahal selama ini sistem pengawasan di internal (melalui Penasihat KPK, Kedeputian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, dan Wadah Pegawai KPK) dan eksternal (peran Presiden, DPR RI, BPK RI, dan masyarakat serta institusi lain yang melakukan audit terhadap KPK).

Baca Juga: KPK tahan direktur utama PTPN III Dolly Pulungan

Kelima, Berdasarkan penelitian TII terkait, kinerja akuntabilitas dan intergritas internal mendapatkan skor baik (78%). Hal ini karena KPK memiliki kewenangan penyadapan yang independen. Mekanisme penyadapan tanpa izin dari institusi lain merupakan kewenangan khusus terhadap kejahatan khusus.

Keberadaan badan antikorupsi yang independen memiliki keleluasaan dalam melaksanakan tindakan pro-yustisia, yang salah satunya memiliki kewenangan melakukan penyadapan tanpa izin yang tidak dimiliki institusi lain. Dalam hal ini juga termasuk kewenangan untuk tidak bisa mengeluarkan surat penetepaan penghentian penyidikan (SP3) terhadap suatu perkara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×