kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Restitusi pajak hingga Oktober sebesar Rp 133 triliun, ini penjelasan pemerintah


Senin, 18 November 2019 / 17:32 WIB
Restitusi pajak hingga Oktober sebesar Rp 133 triliun, ini penjelasan pemerintah
Dirjen Pajak Suryo Utomo


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat sepanjang Januari-Oktober 2019 total pengembalian pajak atau restitusi pajak tumbuh 12,4% secara year on year (yoy) atau setara dengan Rp 133 triliun.

Adapun rincian restitusi pajak berasal dari pemeriksaan sebesar Rp 81 triliun, upaya hukum lewat keputusan pengadilan Rp 22,5 triliun, dan restitusi yang dipercepat sebesar Rp 29 triliun.

Baca Juga: Penerimaan pajak lesu karena restitusi dan penurunan pajak dari tambang

“Dibulatkan menjadi Rp 133 triliun,” ujar Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo saat pemaparan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) periode Oktober 2019, Senin (18/11).

Suryo menyampaikan, jika restitusi pajak tidak masuk dalam hitungan maka penerimaan pajak sampai akhir Oktober tumbuh 2,9% yoy. Sementara apabila efek program percepatan restitusi dikecualikan dari perhitungan, penerimaan bruto Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri masih tumbuh 0,97% yoy.

Teranyar pemerintah mengubah peraturan tentang percepatan restitusi bagi pedagang besar farmasi dan distributor alat kesehatan. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. 

Baca Juga: Penerimaan pajak hanya tumbuh 0,23%, ini penyebabnya

Khusus untuk percepatan restitusi, Kemenkeu mengaku sudah mulai berjalan normal sejak awal Oktober 2019. Namun demikian, Dirjen Pajak menegaskan pada dasarnya restitusi pajak merupakan hak bagi Wajib Pajak (WP) yang diharapkan realisasinya dapat memperbaiki cash flow korporasi penerima fasilitas tersebut. 

Suryo menjelaskan, secara teknis, untuk percepatan restitusi tidak dilakukan pemeriksaan, hanya memverifikasi data yang diberikan. Sebab, insentif itu diperuntukan bagi dunia usaha yang berorientasi ekspor guna mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.

Sementara restitusi normal yang berasal dari pemeriksaan yang dilakukan setelah DJP memvalidadi data WP. Untuk restitusi atas keputusan hukum tentunya kualitas data yang diajukan WP akan ditinjau di pengadilan pajak dan Mahkamah Agung (MA). Sehingga, indikasinya restitusi sebesar Rp 22 triliun lantaran otoritas perpajakan kalah di pengadilan.

“Kalah di pengadilan, tapi kita menjalankan sebagaimana prosedur, itu hak dan kewajiban WP, monggo kita mengikuti kalau ada yang kurang pas,” ungkap Suryo.

Baca Juga: Penerimaan negara tumbuh melambat sampai Oktober, ini penyebabnya

Adapun pemerintah memprediksi shortfall pajak sampai dengan akhir tahun lebih dari Rp 140 triliun. Untuk mengatasinya, pemerintah dalam dua bulan terakhir berupaya memaksimalkan peninjauan dan menjamak basis pajak yang belum digarap dengan memanfaatkan data dan informasi yang dimiliki dengan intensifikasi serta ekstensifikasi.

Suryo memaparkan intensifikasi yang akan dilakukan adalah menggunakan data yang diperoleh dari internal DJP maupun pihak ketiga sebagai dasar untuk melakukan pendekatan ke wajib pajak terdaftar namun belum tertib membayar kewajiban. 

Baca Juga: Hingga Oktober, defisit APBN mencapai Rp 289 triliun

Dari sisi ekstensifikasi, DJP akan berupaya mencari WP baru yang belum terdaftar, sehingga diharapkan menambah pundi-pundi penerimaan pajak.

“Kami juga perlu klarifikasi soal kualitas data yang dihimpun seperti apa, memastikan data yang akan digunakan bisa tepat sasaran terhadap proyeksinya,” ujar Suryo.

Di sisi lain, ekstra effort yang akan dilakukan pihaknya adalah memanfaatkan potensi dari PPh Pasal 21 dan PPh Badan yang dilihat sudah rebound atau mulai membaik pada Oktober di banding September. Di mana secara berturut-turut pertumbuhan secara bulanannya adalah 10,42% dan 8,54%. 

Suryo menjelaskan, dari sisi PPH Pasal 21 atau pajak atas karyawan ke depan bisa mocer karena tingkat serapan tenaga kerja mulai tumbuh di awal kuartal IV-2019 dibanding kuartal III-2019. Pertumbuhan meningkat di Oktober, pembayaran bonus oleh beberapa WP dominan.

Baca Juga: Bahana Sekuritas pangkas proyeksi IHSG hingga akhir tahun menjadi 6.085

Dari sisi PPh Badan atau pajak korporasi diyakini bisa bergairah sampai akhir tahun akibat dampak dari normalisasi percepatan restitusi. Serta meningkatkan setoran masa sektor jasa keuangan 29,91% dan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar 39,93% yang tercermin pada Oktober 2019. 

Baca Juga: Kemenkeu lelang paket barang elektronik Dell, Macbook hingga iPhone mulai Rp 85 juta

“Walaupun mengalami tekanan tapi pajak yang dibayarkan pekerja cukup tinggi. Perubahan arah harapan agar menuju tren positif ini bisa terus terjaga. PPN Dalam Negeri pun berbalik arah positif 2,72% pada awal kuartal IV-2019,” papar Suryo 

Asal tahu saja, berdasarkan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 penerimaan pajak sampai dengan akhir Oktober 2019 sebesar Rp 1.018,47 triliun. Secara tahunan, angka tersebut hanya tumbuh 0,23% dibanding tahun lalu. Jauh lebih rendah dibanding pertumbuhan Oktober 2017-Oktober 2018 sebesar 17,41%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×