kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.915.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.341   27,00   0,17%
  • IDX 7.544   12,60   0,17%
  • KOMPAS100 1.047   -4,04   -0,38%
  • LQ45 795   -5,29   -0,66%
  • ISSI 252   0,56   0,22%
  • IDX30 411   -3,03   -0,73%
  • IDXHIDIV20 472   -7,09   -1,48%
  • IDX80 118   -0,54   -0,46%
  • IDXV30 121   -0,69   -0,57%
  • IDXQ30 131   -1,32   -1,00%

Ramai Surat Cinta dari DJP, Inikah Bukti Otoritas Kejar Target Pajak 2025?


Minggu, 27 Juli 2025 / 17:10 WIB
Ramai Surat Cinta dari DJP, Inikah Bukti Otoritas Kejar Target Pajak 2025?
ILUSTRASI. Keluhan Coretax Suasana di kantor pelayanan pajak madya Jakarta Selatan II, Selasa (14/01/2025). Sistem inti administrasi pajak (Coretax) DJP Kemenkeu yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2025 mendapat kritikan tajam. Banyak kalangan pengusaha dan pakar pajak menilai, penerapan sistem Coretax ini belum siap sepenuhnya untuk digunakan secara optimal.?Keluhan utamanya meliputi lambatnya akses sistem dan kurangnya sinkronisasi data wajib pajak yang terintegrasi.?KONTAN/Cheppy A. Muchlis/14/01/2025


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Media sosial tengah ramai dengan unggahan warganet yang menerima "surat cinta" dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam beberapa bulan terakhir.

Unggahan tersebut merujuk pada Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang dikirim DJP kepada wajib pajak, sebagai bagian dari upaya intensifikasi pengawasan dan perluasan basis perpajakan.

Fenomena ini bukan sekadar tren dadakan, melainkan cermin dari meningkatnya langkah Otoritas Pajak untuk mengamankan target penerimaan negara 2025.

Tahun 2025 bukan tahun biasa. Ekonomi global belum sepenuhnya pulih, konsumsi rumah tangga masih lesu, dan belanja pemerintah ditekan efisiensi.

Di tengah tekanan itu, pemerintah tetap menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 2.189,3 triliun, yang membuat otoritas harus bekerja lebih keras menggali potensi yang belum tergarap optimal.

Baca Juga: DJP Segera Luncurkan Taxpayer Charter, Ini Isi Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

SP2DK umumnya diterbitkan ketika terdapat ketidaksesuaian atau potensi ketidakwajaran antara profil penghasilan wajib pajak dengan pelaporan pajaknya. Sumber data bisa berasal dari pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), laporan pihak ketiga, hingga transaksi keuangan. Surat ini menjadi pintu masuk pemeriksaan lebih lanjut apabila penjelasan dari wajib pajak dinilai tidak memadai.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Rosmauli mengatakan, pihaknya telah menerbitkan sebanyak 185.000 SP2DK hingga 25 Juli 2025.

Namun, ia menegaskan bahwa langkah ini tidak semata-mata dipicu oleh kondisi penerimaan negara, baik saat sedang naik maupun turun.

"Perlu kami sampaikan bahwa penerbitan SP2DK merupakan salah satu upaya pengawasan kepatuhan yang Ditjen Pajak lakukan dan tidak tergantung pada keadaan penerimaan yang sedang naik atau turun," ujar Rosmauli kepada Kontan.co.id, Minggu (27/7/2025).

Menurutnya, setiap SP2DK yang diterbitkan didukung oleh analisis berbasis data dan sistem.

Selain itu, petugas pajak juga melakukan pertimbangan untuk memastikan bahwa surat yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Ramainya penerbitan SP2DK dari DJP belakangan ini bukan hanya dirasakan oleh para wajib pajak, tetapi juga kalangan konsultan pajak.

Baca Juga: Pakai Teknologi AI, DJP Deteksi Ketidakcocokan Laporan Pajak dari Aktivitas Sosmed

Salah satu konsultan pajak yang enggan disebutkan namanya, mengungkap bahwa hampir seluruh konsultan kini sibuk menangani klien yang menerima SP2DK.

Menurutnya, tren yang muncul saat ini menunjukkan bahwa setiap wajib pajak yang menerima surat tersebut diminta untuk melakukan setoran pajak. Jika tidak bersedia, mereka berisiko naik status menjadi objek pemeriksaan pajak.

"Iya, semua wajib pajak diminta harus ada setoran. Jika tidak ada ancaman diperiksa," kata dia.

Ia menyebutkan, bila wajib pajak menyepakati adanya setoran, maka proses pemeriksaan pajak bisa dihindari. Namun, jika wajib pajak menolak atau tidak sepakat dengan perhitungan petugas, maka kasusnya berpotensi dilanjutkan ke tahap pemeriksaan.

Senada, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, mengaku tengah banyak menangani klien yang menerima SP2DK. Bahkan, dirinya sendiri juga menerima SP2DK dari DJP.

Menurutnya, masifnya penerbitan SP2DK di tengah perekonomian yang tengah lesu akan menambah beban dari wajib pajak.

"Pembayaran pajak pasti membebani pembayarnya karena pajak itu dicatat sebagai beban (tax expanse) dalam laporan laba rugi. Sebagai konsekuensinya, laba neto usaha akan berkurang," kata Prianto.

Ia menjelaskan bahwa ketika data yang dilaporkan wajib pajak dalam SPT berbeda dengan informasi yang dimiliki petugas dari sumber lain, maka perbedaan itu perlu diklarifikasi. Proses klarifikasi inilah yang difasilitasi melalui SP2DK.

Baca Juga: DJP Rancang Aturan Baru, Layanan Digital Ini Bakal Kena Pajak

Prianto juga menyinggung Surat Edaran SE-05/2025, yang menegaskan bahwa SP2DK adalah langkah awal dalam penggalian potensi pajak.

Jika hingga akhir 2025 terdeteksi potensi shortfall penerimaan, maka DJP diperkirakan akan semakin gencar mengirim SP2DK demi mendorong pembetulan SPT dan setoran tambahan.

"Targetnya adalah ada pajak yang disetor dari pembetulan SPT oleh wajib pajak," katanya.

Namun, Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxataion Analysis (CITA) Fajry Akbar, menilai penting untuk memposisikan SP2DK dalam kerangka fungsi pengawasan dalam sistem self-assessment yang berlaku di Indonesia.

"Oleh karena itu, kalau DJP punya data yang yang menyatakan hal berbeda dengan yang dilaporkan oleh Wajib Pajak maka diperlukan klarifikasi oleh wajib pajak," katanya.

Menurut Fajry, penerbitan SP2DK adalah praktik rutin yang dilakukan setiap tahun. Namun, ia tidak menutup kemungkinan bahwa dalam kondisi shortfall, intensitas penerbitan SP2DK bisa meningkat.

Hanya saja, ia mengingatkan bahwa dasarnya tetap harus risiko kepatuhan, bukan target penerimaan.

"Tentunya tidak tepat jika produksi SP2DK didasari atas besarnya shortfall penerimaan. Harusnya kembali ke fungsi pengawasan yakni berdasarkan pertimbangan risiko kepatuhan," pungkasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan data DJP, produksi surat permintaan klarifikasi pajak atau SP2DK oleh DJP mengalami fluktuasi tajam dalam enam tahun terakhir.

Baca Juga: DJP Mengaku Telah Awasi Para Influencer dan Content Creator Terkait Pelaporan Pajak

Pada 2018, DJP menerbitkan 2,48 juta SP2DK yang ditujukan kepada 1,44 juta wajib pajak (WP). Volume ini melonjak di tahun berikutnya. 2019 mencatatkan 3,35 juta SP2DK, dikirim kepada 1,88 juta WP. Artinya, dalam satu tahun terjadi peningkatan penerbitan surat sebesar hampir 900 ribu surat.

Meski sempat turun ke 2,42 juta surat di 2020, tren kembali naik tajam pada 2021, mencapai rekor tertinggi dengan 3,73 juta surat dikirim kepada 1,58 juta WP.

Angka ini menjadikan 2021 sebagai tahun paling agresif dalam hal pengawasan berbasis SP2DK. Namun situasi berubah drastis mulai tahun berikutnya. Di 2022, jumlah SP2DK yang diterbitkan turun tajam menjadi hanya 525 ribu surat, atau tinggal sekitar 14% dari angka 2021.

Penurunan ini berlanjut pada 2023, di mana DJP hanya menerbitkan 387 ribu SP2DK, dengan jumlah WP yang menerima turun menjadi 279 ribu.

Baca Juga: DJP Tegaskan Tak Ada Rencana Pungut Pajak dari Uang Amplop Kondangan Masyarakat

Selanjutnya: Keuangan Keluarga Bermasalah? Kenali Tandanya dari Sekarang

Menarik Dibaca: Makna Lagu Terbuang Dalam Waktu dari Barasuara, Soundtrack Film Sore

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×