Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Data-data ekonomi terus melanjutan tren pemburukan selama periode triwulan I-2025.
Hal ini mengindikasikan sinyal mengkhawatirkan pada perekonomian Indonesia dan memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan dan mengatur ulang langah kebijakan untuk periode tahun 2025-2026.
Pemerintah telah menyusun dan akan menyampaikan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun 2026 ke DPR pada 20 Mei 2025 mendatang.
Para ekonom berharap pemerintah harus menyusun dan memperhitungkan kondisi global yang masih diliputi ketidakpastian, terutama dari sisi moneter global dan gejolak politik.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Dinilai Sulit Tumbuh di Atas 5% pada 2025, Ini Penghambatnya
Di dalam negeri, sejumlah data ekonomi RI menunjukkan pemburukan, misalnya saja data Indeks Manufaktur Indonesia yang anjlok pada bulan April 2025 menjadi 46,7 dari sebelumnya di level 52,4 pada Maret.
Ini menunjukkan penurunan kesehatan sektor manufaktur Indonesia dalam lima bulan terakhir, dan sekaligus merupakan kontraksi terdalam pada kondisi bisnis selama 4 tahun terakhir sejak Agustus 2021.
Sejalan dengan itu, data perbankan juga menunjukkan perlambatan pertumbuhan kredit. Berdasarkan hasil survey Bank Indonesia, pada triwulan I 2025 memprakirakan outstanding kredit sampai dengan akhir tahun 2025 tumbuh sebesar 9,89% secara tahunan (year on year/yoy), sedikit lebih tinggi dibandingkan realisasi pertumbuhan kredit pada tahun 2024 sebesar 9,67% yoy.
Artinya, survey tersebut menunjukkan mayoritas perbankan pesimistis terhadap pertumbuhan kredit yang ditargetkan BI dikisaran 11%-13% pada tahun 2025-2026.
Meskipun jika dilihat realisasi per Februari 2025, pertumbuhan kredit masih mampu menyentuh angka dua digit yakni 10,20% yoy menjadi Rp 7.825 triliun, angka pertumbuhan ini sedikit meningkat dari bulan Januari yang tumbuh 10,27% yoy.
Baca Juga: LPEM FEB UI: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tampaknya Mulai Kehabisan Bahan Bakar
Sebaliknya, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, masyarakat makin banyak meminjam online (Pinjol), terbukti dengan meningkatnya porsi kredit Buy Now Pay Later (BNPL) pada industri fintech peer to peer (P2P) lending, dengan outstanding kredit tumbuh 31,06% yoy per Februari 2025, meningkat dibandingkan Januari (29,94% yoy), dengan nominal sebesar Rp 80,07 triliun.
Di sisi lain, data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) oleh Bank Indonesia juga mencatatkan penurunan sebesar 5,3 poin dari bulan sebelumnya menjadi 121,1 per Maret 2025. Artinya IKK ini terus menunjukkan tren penurunan sejak awal tahun.
Program-program prioritas pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) nyatanya belum mampu memberikan dampak nyata ke perekomian Indonesia, bahkan program ini justru menimbulkan polemik kasus penggelapan dana anggaran dan berbagai masalah pada pelaksanaannya.
Padahal, Presiden Prabowo juga telah memangkas Rp 306 triliun anggaran belanja negara (APBN) untuk kemudian dialokasikan mendukung program Asta Cita Prabowo Subianto seperti MBG hingga pembentukan BPI Danantara.
Menilai hal tersebut, Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyampaikan, penyusunan KEM PPKF perlu menekankan reformasi fiskal yang mampu memperbaiki kualitas belanja, memperluas basis perpajakan tanpa membebani sektor riil, dan mendorong investasi pada sektor riil prioritas seperti energi terbarukan, industri manufaktur basis pertanian dan pertambangan prioritas, dan transformasi ekonomi serta digital.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Diproyeksi Hanya Tumbuh 4,9% di Kuartal I-2025
"Ini penting agar APBN 2026 tidak hanya responsif terhadap tekanan jangka pendek, tapi juga menopang pertumbuhan jangka panjang secara berkelanjutan," ungkap Rizal kepada Kontan, Minggu (4/5).
Meskipun pertumbuhan Indonesia relatif stabil di 5,05% pada 2024 tetapi menurut Rizal pertumbuhan ekonomi di 2025 sangat besar tantangannya. Tantangan struktural seperti rendahnya produktivitas dan belum optimalnya serapan belanja pemerintah masih membayangi. Tak ayal Dana Moneter Internasional (IMF) juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,7% tahun ini.
Lebih jauh Rizal memperkirakan dengan skenario optimis, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 5,0%-5,2% dan moderat pada kisaran 4,7%-4,9%. Menurutnya angka skenario tersebut sejalan dengan proyeksi jangka menengah pemerintah dan outlook lembaga internasional seperti World Bank dan IMF.
Namun menurut Rizal yang perlu ditekankan pemerintah adalah kualitas pertumbuhan itu sendiri, dan memastikan pertumbuhan yang lebih inklusif dan berdampak langsung ke perbaikan konsumsi masyarakat yang dapat menyejahterakan secara berkeadilan. Sehingga pemerintah bukan hanya mengejar angka semata.
"Maka, target pertumbuhan ekonomi perlu dibarengi dengan strategi konkret untuk meningkatkan produktivitas, memperkuat sektor manufaktur, dan memperluas kesempatan kerja formal," ungkapnya.
Sepakat Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menyampaikan dalam penyusunan dokumen KEM PPKF 2026, pemerintah perlu melakukan antisipasi global, seperti perang dagang dan performa industri.
Baca Juga: Indeks Manufaktur Indonesia Merosot, Menko Ekonomi Sebut Efek Perang Dagang
Ia mencontohkan jika terjadinya barang limpahan impor dari china, dimana pemerintah harus bisa mengantisipasi dampaknya ke industri dalam negeri.
Selain itu, menurutnya perlu antisipasi program pemerintah yang berjalan lambat seperti Makan Bergizi Gratis (MGB), kemandirian energi dan pangan yang kinerjanya belum terlihat nyata, begitu juga dengan program kinerja BPI Danantara.
"Belanja pemerintah ini juga menjadi pendorong untuk ekonomi RI disaat kondisi global tidak kondusif, kalau pemerintah tidak melakukan apa-apa dan tindakannya lambat, ini juga berpengaruh ke Ekonomi," terang Myrdal kepada Kontan.
Myrdal sendiri memperkirakan pada tahun 2025 pertumbuhan ekonomi hanya akan di kisaran 4,95%, sementara untuk 2026 pertumbuhan ekonomi Indonesia idealnya akan di kisaran 5,1%. Angka ini menurutnya masih mungkin dicapai jika iklim suku bunga global dan domestik (BI Rate) turun serta diharapkan program-program prioritas pembangunan oleh pemerintah sudah mulai kelihatan kinerjanya.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025-2026 akan dihadapkan banyak tantangan global, terutama disebabkan oleh dampak dari perang tarif perdagangan yang dilakukan Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Diproyeksi Hanya Tumbuh 4,9% di Kuartal I-2025
Selain itu tantangan ekonomi domestik juga tidak kalah menantangnya, untuk itu pemerintah perlu mendorong investasi dan percepatan program-program prioritas.
"Idealnya untuk tahun depan (2026) proyeksi pertumbuhan ekonomi antara kisaran 5% sampai dengan 5,3%," ungkap David kepada Kontan, Minggu (4/5).
Pinjaman Online Melonjak
Menanggapi fenomena lonjakan kenaikan pinjaman online (BNPL) fintech oleh masyarakat dinilai mencerminkan tekanan konsumsi yang nyata di kondisi kelas menengah bawah.
"Net bank balance rumah tangga terutama menengah dan bawah sudah negatif. Artinya sudah lebih banyak pinjaman daripada simpanan," ungkap David.
Menurutnya fenomena ini berkaitan dengan stagnasi daya beli serta lesunya pasar kerja di sektor-sektor yang selama ini menyerap banyak tenaga kerja.
Sepakat, Myrdal Gunarto juga melihat fenomena lonjakan pertumbuhan pinjaman online tersebut kiranya sejalan dengan perlambatan kredi di perbankan, mengingat suku bunga bank yang masih tinggi sehinga akan lebih sulit untuk mendapatkan pengajuan kredit di perbankan, ketimbang mengajikan pinjaman online di fintech yang lebih minim persyaratan.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diproyeksi Hanya 4,91% di Kuartal I-2025
Meski begitu Myrdal memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan masih akan tumbuh di kisaran 9%-11% pada tahun 2025. Dengan catatan jika suku bunga acuan global dan BI Rate turun, maka potensi pertumbuhan kredit perbankan juga akan ikut berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi tahun ini.
"Kredit bank turun/melambat karena suku bunga masih tinggi, jadi mereka tahan dulu untuk kredit baru," ungkap Myrdal.
Menurutnya, dengan kondisi BNPL yang tinggi, hal ini mencerminkan tingkat kesulitan dan himpitan kebutuhan masyarakat kelas menengah bawah, sehingga mereka lebih mudah untuk mengajukan pinjaman ke Fintech alih-alih menghadapi sulitya syarat pengajuan kredit ke perbankan.
Selanjutnya: Aspebindo Beberkan Strategi Penuhi Target Pasokan DMO Tahun Ini
Menarik Dibaca: 10 Jus Buah untuk Penderita Asam Lambung yang Aman Dikonsumsi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News