Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah menargetkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 sebesar 2,68% dari produk domestik bruto (PDB).
Namun, bila mengacu pada target kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029, target defisit tersebut di atas batas aman kisaran 2,45% hingga 2,53% dari PDB pada 2026.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pelebaran defisit APBN 2026 tersebut karena banyak program-program strategis dari Presiden Prabowo yang tetap akan dijalankan dengan anggaran yang semakin besar tahun depan.
“Tahun ini dan tahun depan, makan bergizi gratis (MBG), kemudian ada sekolah rakyat, ada food estate, anggaran perumahan juga di APBN mengalami kenaikan. Jadi program-program ini ya berkorelasi terhadap pelebaran defisit,” tutur Bhima kepada Kontan, Kamis (13/11/2025).
Baca Juga: Komisi XI DPR Setujui ATBI Penerimaan Operasional BI Rp 36,91 Triliun pada 2026
Di saat yang bersamaan, pemerintah memang memproyeksikan rasio pajak terus mengalami kenaikan. Pemerintah menargetkan rasio perpajakan alias tax ratio pada tahun depan pada angka 10,47% dari PDB. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan outlook 2025 yang hanya 10,03% PDB.
Namun, Bhima melihat, penerimaan pajak tahun ini justru mengalami penurunan, meski harga komoditas mengalami perlambatan.
“Termasuk juga tambahan beban dari kereta cepat woosh, misalnya Rp 1,2 triliun per tahun yang ditanggung APBN. Jadi ini akan mendorong pelebaran defisit lebih tinggi lagi,” ungkapnya.
Ke depan, Bhima menyarankan pemerintah perlu segera mencegah berbagai upaya yang dapat menghambat optimalisasi penerimaan negara, baik dari bea masuk, pajak, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP), karena hal tersebut seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah.
Menurutnya, agar defisit tidak semakin melebar, pemerintah bisa mempertimbangkan kembali belanja yang lebih efisien. Meskipun saat ini tengah dilakukan tahap efisiensi, defisit tetap melebar.
“Artinya efisiensinya masih tumpul ke atas, tajam ke bawah. Nah satu lagi adalah berarti harus mengejar rasio pajak yang lebih tinggi lagi,” kata Bhima.
Maka itu, ia mendorong Kementerian Keuangan agar menertibkan berbagai praktik kebocoran pajak seperti under-invoicing, mis-invoicing, dan mis-reporting, serta ketidaksesuaian dokumen bea cukai dengan nilai harga barang yang sebenarnya yang banyak terjadi di berbagai komoditas.
Baca Juga: Ditjen Pajak Bongkar Kasus Faktur Pajak Fiktif Rp 10,6 Miliar
Selain itu, Bhima juga mengingatkan agar Kementerian Keuangan lebih fokus menutup celah-celah perpajakan guna menekan defisit APBN, terutama untuk tahun 2026 dan seterusnya, karena selama ini belum terlihat adanya upaya yang optimal dalam meningkatkan penerimaan negara.
Ia khawatir, kondisi tersebut dapat berdampak pada pelebaran defisit hingga melampaui 3% dari PDB, mengingat jika kebijakan masih berjalan seperti biasa, proyeksi harga komoditas tahun depan diperkirakan masih rendah.
“Dan konsumsi masyarakat atau industri yang menggerakan pajak itu juga masih belum akan mengalami rebound yang signifikan,” imbuh Bhima.
Baca Juga: Bakal Diterapkan Akhir 2025, Rumah Sakit yang Siap Terapkan KRIS Baru Mencapai 57,1%
Selanjutnya: Patra Jasa Perkuat Transformasi Bisnis
Menarik Dibaca: Promo The Body Shop Diskon s/d 70% Segera Berakhir, Berlaku sampai 15 November 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













