Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Keuangan mematok anggaran belanja negara sebesar Rp 3.842,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Anggaran belanja tersebut meningkat dari outlook tahun ini yang sebesar Rp 2.865,5 triliun.
Belanja negara ini terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 3.149,7 triliun, dan transfer ke daerah (TKD) Rp 693 triliun.
Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman menilai, anggaran belanja negara yang dirancang pada 2026 tersebut masih mengarah pada pendekatan fiskal yang relatif ekspansif untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah ketidakpastian global yang belum sepenuhnya mereda.
“Secara nominal, angka ini cukup besar dan menunjukkan keberpihakan pemerintah pada peran APBN sebagai penyangga ekonomi,” tutur Rizal kepada Kontan, Selasa (23/12/2025).
Baca Juga: Restitusi Pajak Melonjak 35,5% di 2025, Kemenkeu Evaluasi Kebijakan
Meski demikian, Rizal menilai, tantangan utama anggaran belanja negara ini bukan pada besaran nilainya, melainkan pada kualitas dan komposisi belanja. Menurutnya, apabila belanja yang besar tersebut masih didominasi belanja rutin dan program dengan multiplier rendah, maka efektivitasnya dalam mendorong pertumbuhan berkelanjutan akan terbatas dan berpotensi menambah rigiditas fiskal ke depan.
Sementara itu, terkait alokasi anggaran untuk pos-pos yang telah ditetapkan pemerintah, baik Kementerian/Lembaga (K/L) maupun non-K/L, menurutnya, penilaiannya tidak bisa hitam-putih.
Pada sektor-sektor yang menopang layanan dasar, stabilitas harga, dan penurunan biaya ekonomi seperti pangan, energi, infrastruktur dasar, serta penguatan kualitas SDM dimana alokasi anggaran relatif dapat dibenarkan.
Akan tetapi, ia melihat masih ada risiko alokasi yang kurang fokus pada belanja produktif dan terlalu menyebar, sehingga dampaknya ke peningkatan produktivitas nasional menjadi tidak optimal.
“Di sisi lain, belanja operasional dan program yang indikator kinerjanya lemah berpotensi berlebihan jika tidak disertai reformasi tata kelola dan evaluasi berbasis outcome,” ungkapnya.
Adapun peruntukannya untuk program priorotas dalam Asta Cita, Rizal menilai, persoalannya bukan semata-mata terletak pada kecukupan anggaran, melainkan pada apakah desain kebijakan tersebut benar-benar dapat diterjemahkan menjadi hasil yang terukur.
Baca Juga: UMP 2026 Ditolak, Ribuan Buruh Ancam Turun ke Jalan 29-30 Desember 2025
Secara prinsip, menurutnya, Asta Cita memang diperlukan sebagai kerangka prioritas pembangunan, terutama jika diarahkan untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi, mendorong ekonomi produktif, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Namun, ia menilai Asta Cita berpotensi menjadi beban fiskal apabila hanya diwujudkan dalam bentuk paket belanja besar yang bersifat distributif dan berjangka pendek tanpa disertai reformasi struktural yang jelas.
“Artinya, yang dibutuhkan bukan sekadar penambahan anggaran, tetapi penajaman program dan disiplin eksekusi,” kata Rizal.
Ia menambahkan, dari sisi target pemerintah pada 2026, baik belanja maupun pendapatan, terdapat trade-off yang cukup menantang. Menurutnya, belanja yang besar menuntut adanya target pendapatan yang kredibel dan realistis.
Disisi lain, apabila asumsi pertumbuhan ekonomi tidak tercapai atau penerimaan kembali mengalami shortfall, tekanan terhadap pembiayaan dan defisit akan meningkat. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa konsistensi antara asumsi makro, target pendapatan, dan desain belanja menjadi kunci agar APBN 2026 tetap sehat dan tidak terlalu bergantung pada pembiayaan utang.
Lebih lanjut, mengenai rencana pemerintah memperluas basis pajak melalui Coretax, penggalian potensi shadow economy, dan pemanfaatan AI dalam administrasi perpajakan dan cukai, Rizal menilai arah kebijakan ini sudah cukup responsif terhadap perkembangan teknologi.
Hal ini dikarenakan menitikberatkan pada perbaikan sistem dan kepatuhan, bukan menaikkan tarif. Namun, ekspektasi terhadap tambahan penerimaan, menurutnya perlu dijaga agar tetap realistis.
Baca Juga: Bukan Hoaks, Maki Nama Hewan Bisa Kena Pidana Mulai 2026
“Coretax dan digitalisasi pajak tidak serta-merta menghasilkan lonjakan penerimaan dalam jangka pendek, karena dianggap ada fase transisi, penyesuaian wajib pajak, dan tantangan integrasi data,” tambahnya.
Rizal berpendapat, apabila dikelola secara hati-hati dan disertai perbaikan layanan serta kepastian aturan, reformasi tersebut dapat sepadan untuk menopang penerimaan pada 2026. Namun sebaliknya, ia menilai bahwa jika dilakukan terlalu agresif tanpa kesiapan sistem, reformasi itu justru berisiko menambah friksi, meningkatkan beban fiskal, dan menekan kepatuhan sukarela.
Selanjutnya: Tier List Jujutsu Zero Roblox: Panduan Clan Terbaik lengkap dengan Informasi Status
Menarik Dibaca: Hari Terakhir Promo J.CO Delivery Deals, Bundling 2-5 Minuman Lebih Hemat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













