Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Presiden Prabowo Subianto menargetkan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tidak lagi defisit alias defisit 0% pada 2027-2028 mendatang. Hal ini disampaikan Prabowo saat menyampaikan Nota Keuangan RAPBN 2026 pada 16 Agustus 2025 lalu.
“Harapan saya dan cita-cita saya, untuk suatu saat, apakah dalam 2027 atau 2028, saya ingin berdiri di depan majelis ini... menyampaikan bahwa kita berhasil punya APBN yang tidak ada defisitnya sama sekali,” kata Prabowo.
Sebagaimana diketahui, awal pemerintahannya, Prabowo menginisiasi untuk melakukan efisiensi anggaran. Anggaran lanjutnya, harus disalurkan untuk program-program unggul dan prioritas.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, berkaca pada negara lain, Irlandia merupakan salah satu negara yang memiliki APBN surplus pada 2025, yakni sebesar 4,3% dari produk domestik bruto (PDB) atau setara € 23,2 miliar.
Bhima menyebut, Irlandia memperoleh surplus APBN karena penegakan aturan perpajakan. “Indonesia bisa contoh Irlandia soal pajak sektor digital (over the top). Penerimaan pajak dari Apple tembus EUR 13 miliar,” tutur Bhima kepada Kontan, Selasa (19/8/2025).
Baca Juga: Cita-Cita Prabowo, Tahun 2027-2028 Tidak Ada Defisit APBN
Meski demikian, Bhima menyebut, mengandalkan pajak digital saja tidak cukup. Harus ada perluasan basis pajak baru lainnya.
Hasil kajian Celios mencatat, Indonesia sebenarnya memiliki ruang fiskal yang besar dengan potensi penerimaan baru mencapai Rp 469 triliun hingga Rp 524 triliun setiap tahun melalui penerapan pajak alternatif yang progresif.
Potensi ini bersumber dari penerapan pajak-pajak yang lebih adil terhadap sektor digital, karbon, kekayaan, dan aktivitas ekonomi yang selama ini belum dikenai pajak. Selain itu, penghapusan insentif pajak pro konglomerat dan penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) ke arah yang lebih rendah namun adil secara sosial, turut memperkuat skema ini.
Dengan demikian, negara sangat mungkin untuk menumbuhkan penerimaan tanpa harus memperbesar beban kelompok rentan.
Defisit Tak Masalah
Bhima menilai, sebenarnya tidak ada yang salah apabila APBN mengalami defisit, asalkan masih sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dengan batas defisit terkendali di bawah 3% dari PDB.
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah mencatatkan defisit APBN sejak awal kemerdekaan. Kala itu, defisit terjadi karena adanya pengeluaran besar di bidang militer untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan meredam pergolakan di daerah.
“Kenapa defisit? Karena tujuannya dari belanja pemerintah adalah menstimulus perekonomian. Dan juga agar penerimaan negaranya tidak mendistorsi sektor riil,” ungkapnya.
Baca Juga: Tambal Defisit, Pemerintah akan Terbitkan SBN Melebihi Target Pembiayaan APBN 2025
Bhima menyebut, untuk mencapai target defisit 0% atau APBN mengalami surplus, diperlukan penerimaan negara yang sangat besar. Ia berharap, tujuan mengumpulkan penerimaan tersebut tidak menyasar kelompok rentan.
Selain itu, ia khawatir, apabila APBN mengalami defisit 0% laju perekonomian bisa tidak bergerak lebih dari 5%. Lantaran kebijakan tersebut menandakan APBN Indonesia sifatnya lebih procyclical.
Kebijakan procyclical artinya, ketika ekonomi sedang tumbuh, kebijakan justru mendorong pertumbuhan lebih tinggi, misalnya pemerintah meningkatkan belanja atau memberi stimulus. Sebaliknya, saat ekonomi melemah, kebijakan malah ikut mengetat misalnya pemotongan belanja atau peningkatan pajak.
Melihat kondisi tersebut, Bhima menilai saat ini yang dibutuhkan Indonesia adalah APBN yang bersifat countercyclical, yang artinya pemerintah mengeluarkan stimulus misalnya melalui belanja negara ketika ekonomi sedang lesu.
Menurutnya, ketika sektor swasta sedang berhemat atau menahan laju, dan daya beli masyarakat menurun, maka stimulus seharusnya datang dari belanja pemerintah.
“Ini kalau belanja pemerintahnya sama-sama diefisienkan, penerimaan pajaknya didorong, ya ekonomi macet, pertumbuhannya jadi lebih rendah,” jelasnya.
Ada Konsekuensi
Bhima menilai bahwa pencapaian defisit 0% memiliki konsekuensi tertentu yang harus dikorbankan. Menurutnya, jika hanya mengandalkan BUMN untuk meningkatkan keuntungan, prosesnya akan membutuhkan waktu.
Selain itu, hal yang dinilai paling realistis untuk ditunggu adalah hasil konsolidasi dan upaya efisiensi di tubuh BUMN, baik dari sisi kecepatan maupun efektivitasnya.
Ia juga menyinggung soal besarnya dukungan dari kementerian terkait. Bhima mencontohkan kasus mundurnya Direktur Utama Agrinas Pangan Nusantara yang dianggap membuktikan masih lemahnya dukungan bagi BUMN yang menjalankan program strategis pemerintah.
Baca Juga: Defisit Melebar, Pemerintah akan Terbitkan SBN Melebihi Target Pembiayaan APBN 2025
Selain itu, ia menilai tantangan lain adalah bagaimana kementerian dapat membersihkan praktik korupsi di BUMN dan mendorong profesionalisme. Hal ini menjadi pertanyaan, sebab banyak pihak meragukan kemampuan kementerian tersebut memperbaiki tata kelola BUMN, sementara tata kelola internalnya sendiri dinilai masih bermasalah.
“Jadi PR-nya masih banyak sebenarnya. Cita-cita untuk bisa mendorong keuntungan sebesar itu kan harus ada big bang, harus ada gebrakan yang signifikan tidak cukup hanya dengan merger, akuisisi atau konsolidasi internal BUMN merampingkan itu nggak cukup,” tambahnya.
Tapi BUMN-nya harus masuk misalnya ke transisi energi, bisa masuk ke dekarbonisasi industri baja misalnya, atau bisa mendorong pasar-pasar ekspor yang alternatif dari BUMN yang ada sekarang.
Bhima menekankan, bahwa BUMN perlu terlibat dalam agenda strategis, misalnya pada transisi energi, dekarbonisasi industri baja, maupun upaya mendorong pengembangan pasar ekspor alternatif di luar yang sudah ada saat ini.
Optimalisasi Pendapatan Negara
Dalam kesempatan berbeda, Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Wahyu Utomo menyampaikan pemerintah senantiasa mendorong agar APBN sehat dan kredibel untuk mendukung agenda pembangunan, menjaga stabilitas ekonomi dan mewujudkan kesejahteraan.
“Untuk itu pemerintah terus mendorong optimalisasi pendapatan dengan tetap menjaga iklim investasi, efisiensi dan rekonstruksi belanja,” tutur Wahyu.
Kebijakan tersebut, lanjutnya, dilakukan agar semakin produktif, dan mendorong pengembangan skema pembiayaan yang kreatif dan inovatif salah satunya penguatan peran Danantara untuk akselerasi investasi produktif dan pengembangan pembiayaan inovatif.
Sebelumnya, dalam Pidato Prabowo saat menyampaikan Nota Keuangan dan RAPBN 2026, mengatakan, pemerintah akan terus melaksanakan efisiensi anggaran agar defisit dapat ditekan sekecil mungkin. Caranya melalui menghilangkan segala bentuk kebocoran anggaran dan penerimaan negara.
Baca Juga: DPR Restui Defisit APBN Melebar Menjadi 2,78% PDB di 2025
Cara lainnya adalah dengan mengembangkan pembiayaan kreatif dan inovatif yang lebih masif. Prabowo menyampaikan bahwa ke depan, pembiayaan pembangunan tidak akan sekadar mengandalkan APBN.
Oleh karena itu, peran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk membiayai berbagai urusan pembangunan akan dioptimalkan. Danantara juga diminta melibatkan pengusaha swasta nasional dan global secara lebih aktif.
Prabowo mengatakan, Indonesia memiliki aset besar yang dikelola badan usaha milik negara (BUMN) senilai lebih dari 1.000 triliun dollar AS. Ia menargetkan, jika BUMN melalui Danantara bisa menyumbangkan minimal 50 miliar dollar AS saja, APBN tidak akan mengalami defisit.
”Karena itu, saya memberi tugas kepada BPI Danantara untuk membereskan BUMN-BUMN kita,” kata Prabowo.
Selanjutnya: OJK: Total Kerugian Dana Masyarakat Akibat Scam Keuangan Mencapai Rp 4,6 Triliun
Menarik Dibaca: Promo Daikin AC Nusantara Prestige, Cashback Hingga Rp 2,5 Juta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News