kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.383.000   -4.000   -0,17%
  • USD/IDR 16.702   47,00   0,28%
  • IDX 8.509   -37,16   -0,43%
  • KOMPAS100 1.173   -6,40   -0,54%
  • LQ45 846   -6,27   -0,74%
  • ISSI 301   -0,86   -0,28%
  • IDX30 436   -3,82   -0,87%
  • IDXHIDIV20 504   -3,85   -0,76%
  • IDX80 132   -0,78   -0,59%
  • IDXV30 138   0,50   0,36%
  • IDXQ30 139   -1,24   -0,89%

Praktik Underinvoicing Rugikan Negara, Ekonom: Reformasi Bea Cukai Tak Bisa Ditunda


Jumat, 28 November 2025 / 21:03 WIB
Praktik Underinvoicing Rugikan Negara, Ekonom: Reformasi Bea Cukai Tak Bisa Ditunda
ILUSTRASI. Ekonom soroti underinvoicing yang rugikan negara Rp 140 triliun dari ekspor RI-China.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Underground ekonomi atau aktivitas ekonomi bawah tanah selama ini dianggap merugikan negara selama bertahun-tahun. Praktik underinvoicing termasuk bagian dari underground economy yang luput dari pantauan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tapi juga Ditjen Bea Cukai.

Kerugian negara dari praktik underinvoicing atau memanipulasi nilai barang dalam dokumen perdagangan internasional belakangan mencuat menimpa Ditjen Bea Cukai, yang bahkan diultimatum akan dibekukan oleh Presiden Prabowo Subianto jika tak berbenah.

Permasalahan ini memanas usai isu temuan lama yang kembali menguap ke permukaan. Salah satu yang terbesar adalah ketidaksinkronan data perdagangan Indonesia–China kembali menyingkap besarnya ekonomi bawah tanah (underground economy) di sektor ekspor-impor. Temuan ini sekaligus menjadi momentum kuat bagi pemerintah untuk mempercepat reformasi besar-besaran di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) maupun sistem perpajakan.

Baca Juga: Underinvoicing Meningkat, Efektivitas Bea Cukai Kembali Disorot

Dalam riset Kontan, terjadi perbedaan data neraca dagang yang mencolok antara kedua negara. Jika merujuk data laporan International Trade Center (ITC) dalam lima tahun terakhir, China mencatat fluktuasi surplus-defisit, sementara Indonesia selalu mencatat defisit.

Dalam rinciannya, tercatat ekspor China ke Indonesia sebesar US$ 76,7 miliar pada 2024, sementara Indonesia mencatat impor dari China hanya US$ 73,9 miliar. Sebaliknya, China mengklaim mengimpor barang Indonesia senilai US$ 71,1 miliar, namun Indonesia melaporkan ekspor ke China sebesar US$ 62,7 miliar.

Artinya, ada selisih lebih dari US$ 11.2 miliar atau sekitar Rp 186,76 triliun (kurs Rp 16.675) antara data kedua negara. Terkhusus ekspor Indonesia ke China, terdapat Selisih US$ 8.4 miliar atau setara Rp 140,07 triliun nilai barang yang diduga tidak tercatat yang menjadi kerugian negara.

Ketidaksinkronan data inilah yang disebut sebagai indikasi kuat adanya perdagangan yang tidak sepenuhnya tercatat, baik karena kesalahan pendataan, manipulasi dokumen, maupun praktik underinvoicing.

Ekonom menilai selisih sebesar ini tidak mungkin terjadi jika seluruh transaksi tercatat melalui sistem kepabeanan yang resmi dan menggunakan kode HS yang sama.

Ekonom Celios Nailul Huda menegaskan bahwa praktik underinvoicing bukan fenomena baru. Barang impor sering dilaporkan jauh lebih murah dari harga riil, sehingga bea masuk yang dibayarkan ikut turun.

Baca Juga: Prabowo Tantang Menkeu Purbaya Siapkan Anggaran Perbaiki 60.000 Sekolah pada 2026

"Akal-akalan ini yang selalu dilakukan untuk mengurangi atau menghindari pembayaran bea masuk/impor,” ujar Huda kepada Kontan, Jumat (28/11/2025).

Menurut Huda, dengan tarif bea masuk rata-rata 7,5%, negara berpotensi kehilangan Bea Masuk dan PPN Impor yang masing-masing mencapai Rp 5 triliun dan Rp 7,9 triliun.

“Jika itu digunakan oleh negara, efek bergandanya ke ekonomi akan jauh lebih besar,” kata Huda.

Reformasi Bea Cukai Mendesak, Presiden Beri Tenggat Satu Tahun

Besarnya potensi kebocoran membuat ultimatum dari Presiden Prabowo Subianto kepada Ditjen Bea Cukai. Ia memberi tenggat satu tahun untuk memastikan pembenahan tuntas di tubuh DJBC. Jika tidak, DJBC berpotensi dibekukan, dan 16.000 pegawainya dirumahkan.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa reformasi DJBC harus dilakukan secara fundamental. Jika publik tetap tidak puas, pemerintah tak menutup kemungkinan mengembalikan sebagian fungsi teknis kepabeanan kepada pihak swasta seperti Societe Generale de Surveillance (SGS), sebagaimana pernah dilakukan era Presiden Soeharto pada 1985.

Kalau Bea Cukai enggak bisa memperbaiki kinerjanya, bisa dibekukan dan diganti SGS seperti zaman dulu,” kata Purbaya.

Model Kepabeanan Baru: DJBC Pegang Kebijakan, SGS Tangani Teknis

Huda menilai opsi penggunaan SGS masih relevan, mengingat hal tersebut pernah dilakukan pada zaman terdahulu. Hanya saja menurutnya pergantian tidak untuk seluruh fungsi Ditjen Bea Cukai.

Menurutnya, SGS atau pihak swasta dapat mengambil alih tugas pemeriksaan barang pre-shipment dan post-shipment, yaitu aspek teknis yang rentan manipulasi nilai dan volume barang. Namun kebijakan bea masuk dan bea keluar serta keputusan strategis tetap harus berada di bawah Ditjen Bea Cukai.

“Jadi pembekuan itu tidak akan seluruhnya saya rasa karena ada fungsi-fungsi lainnya yang tidak bisa diserahkan kepada pihak swasta," ungkap Huda.

Selanjutnya: Kemenhut Kembangkan Aplikasi Pemantauan Mitigasi Banjir untuk Peringatan Dini

Menarik Dibaca: Asam Lambung Bisa Menyebabkan Kematian atau Tidak? Ini Jawabannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×