Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Praktik underinvoicing atau pengurangan nilai transaksi impor kembali disorot oleh pemerintah seiring dengan masifnya praktik tersebut.
Masifnya praktik ini dinilai mencerminkan masih belum optimalnya peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam mengawasi lalu lintas barang di pintu masuk Indonesia.
Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terbaru menunjukkan bahwa ada 463 wajib pajak eksportir yang diduga melakukan penyamaran ekspor dan underinvoice komoditas sawit. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada awal November 2025 yang hanya 282 wajib pajak.
Baca Juga: Prabowo Beri Waktu Setahun Bea Cukai Berbenah, Jika Gagal 16.000 Pegawai Dirumahkan!
DJP menemukan indikasi adanya penyamaran dokumen ekspor di mana sebagian ekspor palm oil mill efluent (POME) atau Fatty Matter yang merupakan CPO atau produk turunan lainnya dengan nilai ekonomi tinggi.
Dua komoditas tersebut dideklarasikan sebagai limbah untuk menghindari pungutan ekspor yang lebih besar, kewajiban Domestic Market Obligation, pajak dalam negeri, dan dugaan dividen terselubung.
Tidak hanya itu, belum lama ini publik juga menemukan perbedaan data ekspor dan impor yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Trade Centre (ITC).
Hal ini memicu dugaan praktik impor ilegal dari China yang menerjang pasar domestik. Misalnya data dari ITC menunjukkan ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) China ke Indonesia senilai US$ 6,5 miliar pada 2022.
Sementara BPS mencatat impor TPT dari China US$ 3,55 miliar pada periode yang sama. Oleh karena itu, terdapat gap senilai US$ 2,94 miliar atau setara dengan Rp 43 triliun yang tidak masuk dalam catatan resmi BPS.
Baca Juga: Menkeu Purbaya: Bea Cukai Terancam Dibekukan Presiden Jika Tak Bebenah
Ketidakselarasan data perdagangan ini kembali memicu seruan agar dilakukan reformasi menyeluruh di sektor kepabeanan.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman menunjukkan peringatan keras mengenai besarnya potensi kebocoran di DJBC.
Meski pemerintah tidak pernah mengumumkan angka resmi, ia menegaskan bahwa berbagai audit Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga analisis kesenjangan perdagangan (trade gap) mengindikasikan skala kerugian negara yang sangat besar.
Menurut Rizal, dengan pendekatan empiris yang lazim digunakan untuk negara berkembang, potensi kehilangan penerimaan bea dan pajak impor Indonesia diperkirakan mencapai Rp 40 triliun hingga Rp 80 triliun per tahun.
Bahkan, angka tersebut bisa menembus lebih dari Rp 100 triliun bila memasukkan selisih data ekspor–impor Indonesia dengan negara mitra dagang.
"Besarnya angka ini menjelaskan mengapa Presiden menunjukkan reaksi keras karena kebocoran tersebut merugikan APBN sekaligus menciptakan distorsi pasar dan ekonomi rente," kata Rizal kepada Kontan.co.id, Jumat (28/11/2025).
Rizal menilai wacana pelimpahan sebagian fungsi Bea Cukai ke lembaga seperti Societe Generale de Surveilance (SGS) melalui skema pre-shipment inspection dapat menjadi langkah perbaikan jangka pendek.
Verifikasi sebelum pengapalan tersebut dapat memperketat penilaian nilai pabean, mengurangi ruang negosiasi dengan oknum, serta memberikan kepastian biaya dan waktu bagi pelaku usaha.
Baca Juga: Penerimaan Kepabeanan dan Cukai Tembus Rp 249,3 Triliun hingga Oktober 2025
Namun, ia mengingatkan bahwa skema ini bukan tanpa konsekuensi.
"Skema ini menambah biaya baru bagi importir, menimbulkan isu kedaulatan teknis, dan tidak menyentuh akar persoalan tata kelola seperti celah regulasi, integrasi data dan insentif sumber daya manusia (SDM)," katanya.
Merespons wacana Presiden soal pembekuan Bea Cukai, Rizal melihat langkah tersebut lebih sebagai shock therapy untuk mempercepat reformasi internal lembaga. Menurutnya, perbaikan yang realistis harus dilakukan melalui langkah-langkah struktural berbasis bukti.
Hal ini mencakup forensik berbasis trade gap, penerapan pengawasan berbasis risiko, integrasi e-invoicing lintas negara, serta perbaikan insentif dan rotasi SDM di pelabuhan rawan.
Rizal menambahkan, pelibatan SGS hanya dapat digunakan sebagai solusi sementara. Transformasi jangka panjang tetap harus mengarah pada pembenahan kelembagaan agar fungsi pabean berjalan transparan dan efektif.
Selanjutnya: Wijaya Karya (WIKA) Raih Kontrak dari RSUP Dr. Sardjito senilai Rp 917,9 miliar
Menarik Dibaca: Hari Pertama Tayang, Film Agak Laen: Menyala Pantiku! Catat 272.846 Penonton
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News












