Sumber: Kompas.com | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jika tak ada Sabam Sirait, barangkali kita tidak akan melihat sosok Megawati Soekarnoputri di panggung politik nasional. Sampai dengan 1987, masyarakat tidak pernah mendengar nama Megawati.
Setelah tumbangnya Orde Lama, keluarga Soekarno memilih menghindari panggung dan hidup sebagai masyarakat biasa. Megawati bersama suaminya adalah pengelola sejumlah pom bensin di Jakarta.
Sabam adalah politisi senior PDI-P. Tahun ini, pria kelahiran Tanjung Balai 13 Oktober 1936 tersebut, baru saja terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2019-2024. Dalam sebuah kesempatan, Megawati pernah bercerita, orang yang membujuknya masuk Partai Demokrasi Indonesia (sekarang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) adalah Sabam.
Baca Juga: Sekjen parpol pendukung Jokowi akan bertemu untuk membahas tambahan anggota koalisi
Peristiwanya terjadi sekitar tahun 1980an. Saat itu, tak ada satu pun keluarga Soekarno yang tampil di kancah politik. Putra-putri Soekarno membuat kesepakatan pada 1982 untuk tidak berpartisipasi aktif dalam salah satu organisasi sosial politik peserta pemilu.
Kesepakatan yang dibuat pada 1982 itu mengacu pada sikap politik Soekarno yang untuk berdiri di atas semua golongan dan partai politik. Mereka menilai tidak ada organisasi yang meneruskan semangat marhaenisme ajaran Soekarno.
Suatu sore di Kemayoran
Nah, suatu sore, di pertengahan tahun 1980an, di sebuah restoran di daerah Kemayoran, Sabam bersua dengan Megawati dan almarhum Taufik Kiemas, suami Megawati. Sabam mengajak keduanya berkiprah di PDI. Megawati cuma tertawa mendengar tawaran itu. Mana mungkin keluarga Soekarno bisa berpolitik.
Baca Juga: Megawati bertemu Prabowo, tangis Baiq Nuril pun pecah
Selain soal kesepakatan keluarga yang dibuat, pemerintah Soeharto juga melarang anak-anak Soekarno terlibat politik. Di era Orde Baru pimpinan Soeharto ada sentimen terhadap keluarga Soekarno.
Namun, Sabam tidak menyerah. Di lain kesempatan ia kembali membujuk lewat Taufik. Megawati akhirnya menerima tawaran Sabam. Pada Pemilu 1987, nama Megawati dan adiknya, Guruh Soekarnoputra, muncul dalam daftar calon anggota DPR dari PDI.
Mega yang semula menolak masuk politik, akhirnya berkeliling untuk kampanye bersama suaminya, Taufik Kiemas, guna merebut simpati rakyat. Terbukti, sosok Megawati menjadi faktor determinan yang mendongkrak suara PDI. Karisma Soekarno masih membara di hati rakyat kebanyakan. Megawati seolah merepresentasikan karisma ayahnya. Gambar-gambar Soekarno bermunculan dalam kampanye PDI. Hasilnya, PDI mampu merebuat 40 kursi DPR pada Pemilu 1987.
Baca Juga: Simak 6 fakta pertemuan Megawati-Prabowo
Angka yang fantastis kala itu karena dalam pemilu 1982 PDI hanya mampu meraih 24 kursi. Megawati terpilih menjadi anggota DPR. Dalam struktur partai, ia juga didapuk sebagai Ketua PDI cabang Jakarta Pusat.
Sejak itu, kehidupan Megawati tak lagi sama. Karir politiknya perlahan tapi pasti terus melesat.
Aku naar Merdeka Utara
Seperti diketahui, PDI merupakan gabungan dari sejumlah partai yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik.
Soeharto menyederhanakan eksistensi partai-partai politk di awal kekuasaannya melaui fusi atau penggabungan sehingga hanya tersisa tiga partai yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan PDI. Kiprah Megawati di PDI membuat sejumlah politisi senior dari partai-partai itu khawatir.
Baca Juga: Mungkinkah ada pembahasan kesepakatan politik dalam pertemuan Megawati dan Prabowo?
Megawati dianggap terlalu muda, belum punya pengalaman, belum siap masuk politik. PDI saat itu pun masih dibawah kontrol Soeharto. Orang-orang yang anti Soekarno pun ada di partai itu.
Suatu hari di awal 1990-an, Megawati Soekarnoputri diundang ke rumah keluarga Supeni, pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.
Supeni dan sejumlah tokoh ingin tahu alasan Megawati masuk ke PDI yang kala itu dipimpin Soerjadi, orang yang disetujui Soeharto memimpin PDI. "Anak kita mau ke mana sebenarnya, kok mendaftar masuk partai PDI?" tanya Manai Sophiaan, politikus PNI yang juga hadir dalam pertemuan itu.
Baca Juga: Puji nasi goreng Megawati, Prabowo: Saya sampai nambah
Sambil tersenyum, dengan tenang Megawati menjawab, "Aku naar (menuju, bahasa Belanda) Merdeka Utara," kata Megawati. Merdeka Utara yang dimaksud Megawati merujuk pada nama jalan yang melintas di depan Istana Negara.
Putri Soekarno ingin merebut pucuk pimpinan di negeri ini, menjadi presiden. Ruangan saat itu berubah hening. Jawaban Megawati menuai haru dari para senior-seniornya. Para pengagum Bung Karno itu luluh akan tekad Sang Putri.
Merebut PDI
Bergabungnya Megawati di PDI mendongkrak popularitas partai berlambang banteng itu. Melejitnya suara PDI pada pemilu 1987 dan 1992 mengkhawatirkan penguasa Orde Baru. Begitu pula Ketua Umum PDI Soerjadi yang ketokohannya tersaingi oleh Megawati waktu itu.
Baca Juga: Akhirnya DPR setuju agar Presiden Jokowi beri amnesti kepada Baiq Nuril
Rekayasa dan konflik internal pun diciptakan di tubuh PDI. Kongres PDI di Medan pada Juli 1993 untuk mengukuhkan Soerjadi kembali sebagai ketua umum menemui jalan buntu. Kongres Luar Biasa pun digelar di Surabaya pada Desember 1993.
Tak sesuai dengan harapan pemerintah untuk memenangkan tokoh yang bisa dikendalikan, Megawati justru tampil sebagai pemenang dengan meraih dukungan dari 27 DPD untuk mengambil alih pimpinan PDI. Berdasarkan Kongres Surabaya 1993, Megawati adalah Ketua Umum PDI periode 1993-1998.
Dikutip dari buku Megawati dalam Catatan Wartawan (2017), pascaterpilih sebagai ketua umum, Megawati berkeliling Indonesia untuk konsolidasi dan menemui rakyat. Ketidaksukaan pemerintah Orde Baru akan popularitas Megawati justru membuat Megawati makin dicintai orang banyak.
Ia adalah simbol perlawanan terhadap tekanan Orde Baru. Megawati sempat diusulkan sebagai calon presiden.
Baca Juga: Tarik investasi asing, pemerintah perlu lakukan empat langkah strategis
Megawati terus digoyang dan coba didongkel di tengah jalan. Pada 1996, lawan politik Megawati yang didukung pemerintah di dalam partai menggelar kongres Medan yang memilih Soerjadi sebagai ketua umum. Pascakongres PDI di Medan, pucuk pimpinan PDI terbelah dua. Ada PDI Soerjadi yang didukung pemerintah dan ada PDI Megawati yang didukung akar rumput.
PDI kubu Megawati menguasai Kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Insiden berdarah pecah di sana saat massa dari kubu Soerjadi yang didukung pemerintah merebut paksa kantor. Lima orang dilaporkan tewas, sementara ratusan orang mengalami luka-luka.
Baca Juga: Ini penyebab angka pengangguran turun versi menteri sosial
Tekanan terhadap Mega justru menguatkan dukungan rakyat terhadapnya. Pendukungnya di PDI bahkan pindah ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan membentuk "Mega-Bintang". Mega sendiri memilih golput saat Pemilu 1997.
Mendirikan PDI-P
Lengsernya Soeharto pada Mei 1998 membawa angin segar. Megawati hengkang dari PDI dan mendirikan PDI Perjuangan untuk bertarung pada Pemilu 1999. Karisma Megawati membahana. PDI-P besutannya menjadi pemenang Pemilu dengan memperoleh 33,74% suara. Sementara, PDI Soerjadi hanya mengantongi 0,33%.
Sayangnya, jalan Megawati naar Merdeka Utara tak berlangsung mulus. Di Parlemen ia terganjal manuver poros tengah yang dimotori Amien Rais. Parlemen memilih Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden.
Baca Juga: Sri Mulyani sebut aturan kendaraan listrik akan diumumkan langsung Jokowi
Megawati menjemput takdirnya yang tertunda di Medan Merdeka Utara pada 23 Juli 2001 ketika ia dilantik menjadi Presiden kelima Indonesia sekaligus Presiden Perempuan pertama yang pernah memerintah negeri ini menggantikan Gus Dur yang dilengserkan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Penulis: Nibras Nada Nailufar
Editor: Heru Margianto
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Perjalanan Politik Megawati, dari Pengusaha Pom Bensin hingga Penguasa Medan Merdeka Utara".
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News