Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,12% year on year (yoy) pada kuartal II 2025. Angka ini melampaui proyeksi pertumbuhan dari berbagai lembaga independen.
Berdasarkan lapangan usaha, kontribusi terbesar berasal dari industri pengolahan sebesar 18,67%, pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 13,83%, serta perdagangan besar-eceran dan reparasi mobil serta sepeda motor sebesar 13,02%.
Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh paling tinggi, yakni 2,64%.
Namun, rilis BPS tersebut menimbulkan respons kritis dari masyarakat. Di tengah penurunan kepercayaan publik, muncul desakan agar pemerintah lebih transparan dalam metode perhitungan.
Baca Juga: CELIOS Minta PBB Investigasi Kejanggalan Data Pertumbuhan Ekonomi BPS
Ekonom The PRAKARSA, Ema Kurnia Aminnisa, menyoroti perbedaan data BPS dengan indikator independen, khususnya Purchasing Manager’s Index (PMI) dari S&P Global.
“Sampai dengan bulan Juli 2025, PMI manufaktur Indonesia masih berada di bawah 50, dan ini sudah terjadi selama 4 bulan berturut-turut sejak April. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja manufaktur Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan yang berbanding terbalik dengan data BPS yang menunjukkan pertumbuhan signifikan,” jelas Ema dalam keterangannya, Rabu (20/8/2025).
Peneliti Ekonomi The PRAKARSA, Bintang Aulia Lutfi, juga menilai perhitungan pertumbuhan konsumsi rumah tangga perlu dievaluasi kembali.
“Pertumbuhan kredit konsumsi hanya mencapai 3,12%, sementara Indeks Kepercayaan Konsumen turun 5,3 poin secara tahunan. Kredit modal kerja pun mengalami stagnasi tanpa pertumbuhan berarti, ditambah realisasi PPN dan PPnBM masih terkontraksi 19,7% yoy,” ujarnya.
Baca Juga: Melebihi Ekspektasi, Ekonom Menilai Data Pertumbuhan Ekonomi BPS Janggal
Menurut Bintang, tren tersebut menimbulkan pertanyaan atas klaim pertumbuhan konsumsi rumah tangga, mengingat indikator pembiayaan dan kepercayaan konsumen tidak menunjukkan penguatan sejalan.
Ia juga menyoroti pasar kerja yang dinilai tidak mendukung klaim pertumbuhan ekonomi. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat hingga Juni 2025 terdapat 42 ribu pekerja yang terkena PHK.
“Banyak dari mereka hanya berpindah ke sektor berproduktivitas rendah, informal, dan rentan, namun tetap dikategorikan sebagai bekerja oleh indikator BPS,” tegasnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan belum tercermin pada penciptaan lapangan kerja berkualitas dan berkelanjutan.
The PRAKARSA menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka, melainkan gabungan dari berbagai variabel yang harus dijelaskan secara terbuka.
Baca Juga: Anomali Data Pertumbuhan Ekonomi RI
Di tengah keterbukaan informasi, publik dapat menilai konsistensi data pemerintah dengan indikator independen. Oleh karena itu, The PRAKARSA mendorong transparansi dalam pemaparan angka pertumbuhan, terutama terkait kontribusi konsumsi, investasi, serta ekspor-impor.
Keterbukaan ini dinilai penting untuk menjaga legitimasi data sekaligus membangun kembali kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi yang sedang dijalankan.
Selanjutnya: Angkatan Kerja Perempuan di Sektor Tambang Masih Minim
Menarik Dibaca: Promo Mako Bakery Merdeka Package 18-31 Agustus, Paket Roti Favorit Rp 80.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News