Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) Oktober 2019 memutuskan untuk menurunkan suku bunga BI - 7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) ke level 5%.
Kebijakan ini ditempuh BI sebagai kelanjutan upaya pre-emptive untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perlambatan ekonomi global.
Baca Juga: BI yakin pertumbuhan ekonomi membaik di kuartal IV 2019, ini alasannya
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, penurunan suku bunga acuan oleh BI memang masih dibutuhkan dalam rangka memastikan geliat konsumsi domestik terjaga.
Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun hanya bertumpu pada konsumsi dan belum dapat mengandalkan investasi apalagi ekspor.
“Kalau tidak ada respons lagi dari kebijakan moneter, (pertumbuhan) malah bisa lebih buruk karena sampai saat ini kebijakan fiskal belum benar-benar ekspansif di tengah penerimaan pajak yang lebih berat tahu ini,” tutur Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (24/10).
Baca Juga: Penyaluran kredit melambat, BI catat pembiayaan dari pasar modal bergeliat
Kendati demikian, Josua memandang pemerintah mesti lebih serius memastikan kebijakan fiskal yang ekspansif dan bersifat counter-cyclical benar-benar terealisasi dan efektif. Pasalnya, daya ungkit pelonggaran moneter terhadap pertumbuhan ekonomi semakin kecil.
Tanpa adanya kebijakan fiskal yang menyasar langsung daya konsumsi masyarakat, Josua mengatakan, segala pelonggaran suku bunga dan makroprudensial oleh bank sentral bisa jadi sia-sia.
Meski upah minimum provinsi (UMP) 2020 akan naik 8,51% pada tahun depan, Josua mengingatkan bahwa hal itu juga diiringi dengan kenaikan harga sejumlah barang dan jasa. Di antaranya, tarif BPJS Kesehatan, tarif cukai dan harga rokok, hingga pencabutan subsidi listrik untuk golongan pelanggan 900 VA.
Baca Juga: BI proyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2019 stagnan 5,05%
“Jadi meski upah naik, tapi tekanan inflasi juga meningkat. Artinya ekspektasi terhadap pendapatan riil ke depan berkurang dan membuat masyarakat menahan konsumsi. Kalau konsumsi turun, pertumbuhan ekonomi pasti turun lebih dalam,” ujar Josua.
Oleh karena itu, Josua berharap realisasi kebijakan fiskal ekspansif berjalan efektif. Ia juga mendorong pemerintah meningkatkan kinerja belanja melalui APBN yang masih rendah serapannya, terutama untuk belanja modal.
Serta pemanfaatan anggaran transfer ke daerah oleh pemerintah daerah yang juga dianggap belum optimal dan belum produktif untuk menyokong perekonomian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News