Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA Penurunan harga minyak mentah dunia dalam beberapa hari belakangan memunculkan dinamika baru bagi pengelolaan fiskal Indonesia.
Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai, sebagai negara net oil importer, Indonesia di satu sisi akan menghadapi penurunan penerimaan dari sektor migas, namun di sisi lain juga akan memperoleh keuntungan dari sisi belanja negara yang lebih efisien, terutama untuk subsidi energi.
Rizal menjelaskan bahwa dari sisi penerimaan negara, penurunan harga minyak mentah Indonesia (ICP) berpotensi melemahkan dua sumber utama pendapatan negara dari sektor migas, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak Penghasilan (PPh) migas.
Secara konservatif, penurunan ICP sebesar US$ 10 per barel bisa menurunkan PNBP migas sekitar Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun, tergantung pada volume lifting dan skema kontrak.
Lebih lanjut, margin keuntungan perusahaan hulu migas yang menurun akibat harga jual yang lebih rendah juga akan memengaruhi PPh migas.
Baca Juga: Defisit APBN yang Melebar Berpotensi Menghambat Proses Aksesi OECD
Kondisi ini membuat basis pajak sektor migas menyusut dan dapat mengancam tercapainya target pajak migas dalam APBN 2025.
"Kedua faktor ini secara kumulatif dapat menciptakan tekanan terhadap total pendapatan negara dan meningkatkan risiko ketidaktercapaian target defisit fiskal," ujar Rizal kepada KONTAN, Minggu (8/6).
Namun, di sisi belanja negara, penurunan harga minyak justru membawa potensi perbaikan fiskal. Rizal menyebut komponen utama yang terdampak positif adalah subsidi energi dan kompensasi kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) energi seperti Pertamina dan PLN.
“Subsidi BBM dan LPG 3 kg didasarkan pada selisih antara harga keekonomian energi dan harga jual eceran kepada masyarakat. Ketika harga minyak global turun, harga keekonomian BBM dan LPG otomatis lebih rendah, sehingga beban subsidi per liter atau per kilogram juga menurun," katanya.
Kondisi ini membuka ruang fiskal bagi pemerintah karena pengeluaran untuk subsidi energi dan kompensasi BUMN energi berpotensi lebih kecil dari yang direncanakan dalam pagu APBN.
Rizal menilai ruang fiskal ini bisa dimanfaatkan untuk membiayai sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.
Baca Juga: Menko Airlangga: Defisit Fiskal Indonesia Sudah Selaras dengan Standar OECD
Selanjutnya: Pinnacle Winner Balanced Fund Jadi Reksadana Campuran dengan Return Tertinggi di Mei
Menarik Dibaca: Promo Es Krim Alfamart Periode 1-15 Juni 2025, Es Krim Oreo Beli 2 Gratis 1
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News