Reporter: Siti Masitoh | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah Indonesia tengah menjalani proses aksesi menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Meski demikian, defisit APBN yang diperkirakan melebar dikhawatirkan mengganggu proses aksesi tersebut.
Pasalnya, OECD juga turut memperhatikan dan menerapkan kebijakan ketat terkait defisit fiskal negara anggotanya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, meski tidak ada ketentuan formal mengenai batas defisit dalam kriteria keanggotaan OECD, standar praktik fiskal yang sehat tetap menjadi perhatian utama dalam proses aksesi.
Bhima menyoroti, bahwa OECD juga mempunyai dorongan agar semua negara anggotanya paling tidak mematuhi mastrik standar defisit fiskal sebesar 3% dari PDB defisitnya.
Baca Juga: Indonesia Harus Bayar Iuran Jika Jadi Anggota Penuh OECD, Ini Perhitungannya!
“Tapi kalau melihat bahwa OECD juga punya dorongan agar semua negara anggotanya paling tidak mematuhi Mastrik standar sebesar 3% defisitnya. Itu memang sejarah dulu di Uni Eropa,” tutur Bhima kepada Kontan, Kamis (5/6).
sebagaimana diketahui, OECD juga memproyeksikan bahwa defisit anggaran Indonesia akan meningkat dari 2,3% terhadap PDB pada 2024 menjadi 2,8% terhadap PDB pada 2025.
Kenaikan ini terutama disebabkan oleh perluasan program Makan Bergizi Gratis, pembentukan Danantara, hingga pemberian diskon tarif listrik.
Bhima menekankan bahwa kondisi fiskal Indonesia yang nyaris menyentuh ambang 3% dinilai belum menunjukkan kualitas pengelolaan anggaran yang optimal, khususnya dalam hal penerimaan perpajakan dan efektivitas belanja negara.
“Kalau negara yang defisit APBN-nya mendekati 3%, tentunya akan dianggap pengelolaan APBN-nya dari sisi penerimaan pajaknya rendah, kemudian banyak belanja yang kurang produktif mungkin, atau beban utang, warisan utangnya cukup besar sehingga ruang fiskalnya nanti terbatas,” jelas Bhima.
Selain itu, ruang fiskal suatu negara yang menyempit juga dinilai akan menjadi terbatas untuk melakukan stimulus ekonomi.
Ia juga menyoroti terkait saat ini beban fiskal pemerintah adalah pada beban cicilan pokok utang dan juga bunga utang, yang cukup besar di 2025-2026.
Baca Juga: Menko Airlangga Beberkan 3 Fokus Indonesia Dorong Ekonomi Digital di Forum OECD
“Dan ini bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi, bisa menimbulkan juga resiko terhadap rating surat utang, baik dari surat utang pemerintah maupun surat utang BUMN dan Danantara,” ungkapnya.
Lebih lanjut,agar proses aksesi ke OECD tidak terhambat, Bhima menekankan pentingnya konsistensi dalam menjaga disiplin fiskal dan peningkatan rasio perpajakan. Ini tidak hanya menyangkut kepatuhan terhadap regulasi, tapi juga mencerminkan kredibilitas pengelolaan fiskal negara.
“Jadi Indonesia harus bisa menurunkan tingkat defisit anggarannya, pengelolaan disiplin fiskalnya berjalan dengan baik tentunya dengan rasio pajak yang lebih tinggi, sehingga ini juga bisa mempercepat sebenarnya aksesi Indonesia ke OECD,” tandasnya.
Selanjutnya: IHSG Ditutup Naik 0,63% ke 7.113,4 Kamis (5/6), Top Gainers: BRPT, AMMN, BBNI
Menarik Dibaca: 5 Aturan Makan Malam Saat Diet agar Berat Badan Cepat Turun, Praktikkan ya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News