Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. DPR dan Pemerintah sudah sepakat untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja, dan akan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan tanggal 8 Oktober 2020.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk mempercepat proses pengesahan ini walaupun pembahasan yang dilakukan tidak berkualitas dan menyerahkan semuanya kepada Peraturan Pemerintah (PP).
Timboel menambahkan, meskipun hasil yang disepakati masih belum jelas mengingat banyak hal yang diserahkan ke PP. Seperti terkait pasal 66, anggota Baleg sepakat Pasal 66 UU 13 tahun 2003 tidak diubah tapi diserahkan pengaturannya ke PP.
Seharusnya menurut Timboel isi Pasal 66 tersebut tetap dicantumkan di UU Cipta Kerja sehingga jelas, yang nantinya tidak diintepretasikan lain di PP. "Kalau diserahkan ke PP maka akan terjadi interpretasi subyektif Pemerintah terhadap isi pasal tersebut," jelas Timboel pada Minggu (4/10).
Demikian juga dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), upah minimum, proses PHK dan kompensasi PHK dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) juga diserahkan ketentuan detailnya ke PP.
"Saya menilai seharusnya norma-norma yang terkait dengan hak konstitusional harus diatur di UU bukan di PP. Hak mendapatkan hidup yang layak, pekerjaan yang layak, dan jaminan sosial yang layak diimplementasikan dalam hubungan kerja (PKWT, outsourcing), upah minimum, proses PHK dan kompensasi PHK serta JKP, sehingga norma-norma tersebut diatur secara jelas di UU. Dan hal ini menjadi ranah Wakil Rakyat yaitu DPR, bukan malah diserahkan ke Pemerintah sendiri," terangnya.
Baca Juga: Kemenko Perekonomian harap RUU Cipta Kerja terobosan baru masalah ketenagakerjaan
Lebih lanjut dijelaskan, norma-norma tersebut diatur secara detail di UU 13 Tahun 2003, dan sekarang akan diatur secara detail di PP yang merupakan ranah Pemerintah.
Timboel menegaskan dengan disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam rapat paripurna nanti, berarti perlindungan terhadap pekerja akan semakin menurun. Dimana PKWT dan Outsourcing yang dibuka seluas-luasnya akan menyebabkan kepastian kerja bagi pekerja akan hilang.
Kemudian setiap saat pekerja dihadapkan pada perjanjian kontrak kerja yang tertentu waktunya. Demikian juga dengan dipermudahnya proses PHK maka kepastian kerja akan hilang. Hak konstitusional untuk mendapatkan pekerjaan yang layak disebut Timboel akan didegradasi oleh UU Cipta Kerja tersebut.
"Dengan PHK yang mudah dan lebih banyak maka JKP akan membantu para pekerja yang ter PHK tersebut, dan ini akan memberatkan program JKP, sehingga pemerintah harus membantunya," imbuhnya.
Adapun dengan diposisikannya upah minimum kabupaten/kota dengan kata “dapat” dijelaskan Timboel artinya bisa saja upah minimum kabupaten kota akan digantikan oleh upah minimum provinsi. Diketahui bahwa upah minimum provinsi ditetapkan berdasarkan upah minimum kabupaten/kota yang paling rendah. Dengan diterapkannya upah minimum provinsi maka daya beli pekerja akan menurun
"Artinya di Kota Bekasi akan diterapkan upah minimum kabupaten Ciamis yang nilainya sekitar Rp 2 juta per bulan, jauh lebih rendah dibandingkan upah minimum kota Bekasi saat ini sebesar Rp 4,6 juta per bulan," ujarnya.
Timboel menuturkan dengan upah minimum akan berdampak pada banyak hal, seperti daya beli yang menurun maka konsumsi agregat akan menurun sehingga perputaran barang dan jasa akan tersendat karena daya beli masyarakat menurun. Dengan tingkat konsumsi menurun maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, padahal konsumsi mengkontribusi 55%-60% terhadap pertumbuhan ekonomi. Di satu pihak Pemerintah sedang menggenjot pertumbuhan ekonomi menjadi positif, sementara Pemerintah memposisikan konsumsi melemah. Maka kebijakan tersebut dinilai kontradiktif.
Dengan upah minimum yang menurun maka iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan semakin menurun, sementara itu iuran dari pekerja formal merupakan penyumbang kedua tertinggi pemasukan iuran JKN. Tidak hanya iuran JKN yang menurun, tentunya iuran 4 program jaminan sosial ketenagakerjaan yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun, akan menurun juga.
Baca Juga: Kadin sebut tiga langkah ini dapat pulihkan kinerja industri manufaktur
"Bila iuran dari pekerja formal menurun maka akan berpotensi menciptakan defisit JKN yang dikelola BPJS Kesehatan semakin besar. Bila defisit terjadi maka APBN harus menutupinya. Lagi lagi akan membebani APBN," jelasnya.
Kembali ditegaskan Timboel, disahkannya RUU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan merugikan pekerja, pengusaha dan Pemerintah. "Saya berharap Pemerintah dan DPR berpikir ulang untuk segera mensahkan RUU ini," harapnya.
Terkait rencana mogok nasional dan demosntrasi nasional menolak RUU, Timboel memiliki pandangan sendiri. Meski menurutnya penolakan RUU tersebut oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dan pekerja/buruh benar adanya.
Melihat kondisi Covid-19 saat ini yang penyebarannya semakin meningkat rencana mogok dan demo disebutnya akan berpotensi meningkatkan penyebaran Covid-19 di kalangan pekerja/buruh. Timboel menekankan bahwa aksi nanti sangat beresiko.
Meksi diakui tentunya risiko tersebut memang sudah dihitung oleh SP/SB namun Timboel menyebut sebaiknya ada hal lain yang bisa dilakukan untuk menolak RUU ini, untuk menghindari peningkatan Covid-19.
"Jangan sampai mogok dan demo menyebabkan penyebaran Covid-19 dikalangan pekerja dan keluarga meningkat. Saya berharap Pemerintah dan DPR ikut bertanggungjawab penuh untuk menghindari terjadinya kenaikan penyebaran Covid-19 ini di kalangan pekerja/buruh, oleh karenanya pengesahan RUU ini harus ditunda, dan ajak kembali SP/SB untuk berdiskusi membicarakan klaster ketenagakerjaan ini," jelasnya.
Selanjutnya: KSPI menolak pengurangan pesangon bagi korban PHK dalam RUU Cipta Kerja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News