kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: UU Ketenagakerjaan tak membedakan kemampuan perusahaan


Sabtu, 10 Oktober 2020 / 12:18 WIB
Pengamat: UU Ketenagakerjaan tak membedakan kemampuan perusahaan
ILUSTRASI. Aksi unjuk rasa


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengacara dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Willie Farianto mengatakan, Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan tahun 2003 dan UU Cipta Kerja memiliki beberapa persoalan krusial.

Misalnya pada implementasi UU ketenagakerjaan yang tidak membedakan kemampuan finansial antara perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil.

“Semua disamaratakan, kemudian diberikan satu kewajiban hukum yang sama. Ini yang saya pahami sebagai persoalan ketidakmampuan,” kata Willie dalam diskusi virtual, Jumat (9/10).

Kemudian, persoalan ketidakmauan dalam implementasi yakni perusahaannya mampu tapi tidak mau menjalankan ketentuan UU ketenagakerjaan. Jadi UU Cipta Kerja harusnya melakukan penguatan pengawasan ketenagakerjaan.

Baca Juga: Apa itu mosi tidak percaya? Ini penjelasan dan sejarah penggunaannya

Meski begitu, Willie berharap implementasi UU Cipta Kerja bisa memperbaiki hubungan industrial ke depannya. Sebab, dalam UU Cipta Kerja mengatur hubungan ketenagakerjaan antara pengusaha mikro/kecil dengan pekerjanya.

“Ini tentunya menjadi harapan besar untuk melihat perkembangan dari pengusaha – pengusaha UMK setelah nanti diundangkan nya UU Cipta Kerja,” ujar dia.

Lebih lanjut Willie bilang, hukum ketenagakerjaan dibangun dari kaedah heteronom dan otonom. Dalam hal kaedah heteronom (UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja) terdapat kekurangan, maka kaidah otonom (peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama) dapat melengkapi.

“Sehingga memberikan perlindungan hukum dan kesejahteraan terhadap pekerja dengan tetap memperhatikan kepentingan pengusaha,” ujar Willie.

Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan mengatakan, peraturan ketenagakerjaan bukan faktor utama penghambat masuknya investasi ke Indonesia. Ia mengatakan, peraturan tenaga kerja menempati urutan ke-13 dari 16 faktor utama penghambat investasi berdasarkan survei World Economic Forum (WEF).

“(Peraturan ketenagakerjaan) Ada pengaruhnya terhadap investasi tapi tidak signifikan. Menurut survey WEF, hanya urutan ke 13 dari 16 indikator,” kata Hadi kepada Kontan.co.id.

Hadi mengatakan, pemerintah seharusnya memperbaiki lima aspek utama penghambat investasi tersebut. Yakni korupsi, inefisiensi birokrasi, akses ke pembiayaan, infrastruktur memadai, dan kebijakan tidak stabil.

Baca Juga: Wagub DKI: 14 Demonstran UU Cipta Kerja positif Covid-19

Lebih lanjut, Hadi mengatakan, prinsip ketenagakerjaan dalam International Labour Organization (ILO) tidak terlalu teknis. Sementara, aturan ketenagakerjaan di UU cipta kerja lebih teknis dari prinsip ILO tersebut.

“Prinsip-prinsip ILO tidak terlalu teknis. Disamping itu juga negara berdaulat mengatur meski menyimpang dari ILO, berdasarkan prinsip partikularitas masing – masing negara,” pungkas Hadi.

Selanjutnya: KSPI lanjutkan penolakan UU Cipta Kerja lewat jalur konstitusional

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×