kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.774.000   15.000   0,85%
  • USD/IDR 16.480   50,00   0,30%
  • IDX 6.382   70,01   1,11%
  • KOMPAS100 908   4,50   0,50%
  • LQ45 710   -1,47   -0,21%
  • ISSI 202   4,27   2,16%
  • IDX30 370   -2,47   -0,66%
  • IDXHIDIV20 446   -1,77   -0,40%
  • IDX80 103   -0,09   -0,09%
  • IDXV30 108   0,29   0,27%
  • IDXQ30 121   -0,66   -0,54%

Pengamat Ingatkan Pemerintah Hati-Hati Tanggapi Rekomendasi Bank Dunia di Perpajakan


Kamis, 20 Maret 2025 / 19:00 WIB
Pengamat Ingatkan Pemerintah Hati-Hati Tanggapi Rekomendasi Bank Dunia di Perpajakan
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (ketiga kiri) bersama Wakil Menteri Suahasil Nazara (kedua kiri), Anggito Abimanyu (kiri), Thomas A. M. Djiwandono (kedua kanan), Sekretaris Jenderal Heru Pambudi (ketiga kanan) dan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo (kanan) bersiap mengikuti konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (13/3/2025). Menteri Keuangan melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 28 Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/YU


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menanggapi rekomendasi Bank Dunia di bidang perpajakan, khususnya dalam penurunan ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Menurutnya, kebijakan ini berpotensi menambah beban pajak bagi pelaku usaha dan konsumen, yang pada akhirnya dapat berdampak pada perekonomian secara keseluruhan.

“Kurang lebih sama dengan skenario kenaikan tarif PPN, hanya saja lebih sempit, namun beban pajaknya lebih besar yakni 11%,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (20/3).

Ia juga menyoroti kondisi ekonomi saat ini yang diperkirakan tumbuh lebih rendah dibandingkan tahun lalu, serta lemahnya daya beli masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, menurutnya, pemerintah perlu lebih berhati-hati agar kebijakan pajak yang diambil tidak memperburuk situasi.

Baca Juga: Bank Dunia Sebut Pengumpulan Pajak di Indonesia Tidak Efisien, Ini Penyebabnya

"Saya kira pemerintah perlu berhati-hati dalam menanggapi rekomendasi Bank Dunia tersebut," katanya.

Selain faktor ekonomi, Fajry menekankan bahwa kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan risiko politik, mengingat adanya berbagai polemik di awal pemerintahan Prabowo Subianto.

Apalagi, setelah disahkannya Undang-Undang (UU) TNI, muncul dorongan di media sosial untuk menolak membayar pajak.

“Saya kira perlu waktu yang tepat agar kebijakan ini tidak menjadi bumerang bagi pemerintah,” tambahnya.

Fajry juga mengingatkan bahwa kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sering disebut sebagai sektor yang sulit dipajaki (hard to-tax). Potensi penerimaan pajak dari sektor ini dinilai tidak sebanding dengan beban administrasi dan pengawasan yang diperlukan.

Menurutnya, akan ada tambahan biaya kepatuhan bagi wajib pajak, serta biaya administrasi bagi otoritas pajak. Sejalan dengan peningkatan jumlah wajib pajak yang perlu diawasi, jumlah pegawai pajak juga harus ditambah.

"Dengan mempertimbangkan biaya kepatuhan wajib pajak saja, rasionalnya paling rendah itu dalam kisaran Rp 2 miliar hingga Rp 2,5 miliar. Rasional dalam arti potensi penerimaan lebih besar dibandingkan biaya yang perlu dikeluarkan," kata Fajry.

Selain itu, Fajry juga menilai bahwa potensi penerimaan pajak dari kebijakan ini tidak akan terlalu besar. Bahkan dalam skenario optimistis sekalipun, penerimaan pajak yang dihasilkan tidak akan mencapai Rp3 triliun.

Baca Juga: Bank Dunia: RI Kehilangan Penerimaan Rp 944 Triliun Akibat Ketidakpatuhan Pajak

Sebagai informasi, Bank Dunia alias World Bank mengungkapkan bahwa kesenjangan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan di Indonesia mencapai rata-rata 6,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 944 triliun selama tahun 2016 hingga 2021.

Dalam laporan bertajuk Economic Policy: Estimating VAT and CIT Gaps in Indonesia, tingginya angka ketidakpatuhan menjadi faktor utama yang mempengaruhi penerimaan pajak, khususnya dalam PPN.

Laporan Bank Dunia ini juga menyoroti bahwa ambang batas PPN dan PPh Badan yang relatif tinggi (Rp 4,8 miliar) turut berkontribusi terhadap besarnya kesenjangan kebijakan dan kepatuhan. 

Banyak perusahaan yang berada di bawah ambang batas ini dikenakan pelaporan pajak yang lebih sederhana dan pengawasan yang lebih longgar, yang meningkatkan peluang ketidakpatuhan. 

Fenomena ‘bunching’ juga ditemukan, di mana banyak perusahaan melaporkan omzet mereka dalam rentang Rp 4,4-4,8 miliar untuk menghindari kewajiban pajak yang lebih tinggi. 

Hal ini dapat mengarah pada perilaku tidak patuh seperti pelaporan omzet yang lebih rendah dari sebenarnya atau pemisahan bisnis secara artifisial. 

"Menurunkan ambang batas serta menerapkan larangan hukum terhadap praktik ‘bunching’ dapat membantu mengurangi kesenjangan dalam PPN dan PPh Badan," tulis Bank Dunia.

Baca Juga: Bank Dunia Sebut Tingkat Ketidakpatuhan Pajak di Indonesia Tinggi, Ini Kata Pengamat

Selanjutnya: Meski Kecil, Keran Ekspor Batubara ke AS Bisa Mengalir

Menarik Dibaca: Magalarva Ekspor Pakan Hewan dari Limbah Organik ke AS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×