Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Bank Dunia alias World Bank mengungkapkan bahwa kesenjangan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan di Indonesia mencapai rata-rata 6,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 944 triliun selama tahun 2016 hingga 2021.
Dalam laporan bertajuk Economic Policy: Estimating VAT and CIT Gaps in Indonesia, tingginya angka ketidakpatuhan menjadi faktor utama yang mempengaruhi penerimaan pajak, khususnya dalam PPN.
Laporan tersebut menunjukkan, celah kepatuhan (compliance gap) memiliki dampak lebih besar terhadap penerimaan PPN dibandingkan dengan keputusan kebijakan pajak.
Sebaliknya, untuk PPh Badan, kesenjangan kebijakan (policy gap) lebih besar dibandingkan dengan celah kepatuhan.
Secara keseluruhan, celah kepatuhan dalam PPN dan PPh Badan menyumbang 58% dari total potensi penerimaan pajak yang hilang.
"Rasio ketidakpatuhan sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara peer Indonesia dan dalam perbandingan internasional yang lebih luas," tulis World Bank dalam laporannya, Kamis (20/3).
Baca Juga: Potensi Penerimaan Pajak Dari Crazy Rich Indonesia Bisa Capai Rp 50 Triliun
Bank Dunia mencatat, ketidakpatuhan pajak di Indonesia tergolong sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara sebanding.
Salah satu penyebabnya adalah sistem pajak alternatif yang berlaku bagi usaha kecil dan penyedia jasa tertentu, yang membuat mereka dikenakan tarif pajak efektif lebih rendah.
Tingginya ketidakpatuhan di kalangan wajib pajak ini membuat upaya untuk mengurangi celah kebijakan harus dibarengi dengan peningkatan kepatuhan.
Selain itu, banyak sektor dan jenis perusahaan yang dikenakan beban pajak lebih rendah berada di bawah skema pajak alternatif, seperti pajak daerah atas jasa perhotelan.
Jika sektor-sektor ini dimasukkan dalam sistem PPN dan PPh Badan, maka skema pajak alternatif harus dihentikan atau cakupannya dipersempit untuk menghindari pajak ganda.
Dengan demikian, dampak perubahan kebijakan terhadap total penerimaan pajak tidak akan sebesar nilai celah kebijakan yang diestimasi.
Laporan Bank Dunia ini juga menyoroti bahwa ambang batas PPN dan PPh Badan yang relatif tinggi (Rp 4,8 miliar) turut berkontribusi terhadap besarnya kesenjangan kebijakan dan kepatuhan.
Banyak perusahaan yang berada di bawah ambang batas ini dikenakan pelaporan pajak yang lebih sederhana dan pengawasan yang lebih longgar, yang meningkatkan peluang ketidakpatuhan.
Fenomena ‘bunching’ juga ditemukan, di mana banyak perusahaan melaporkan omzet mereka dalam rentang Rp 4,4-4,8 miliar untuk menghindari kewajiban pajak yang lebih tinggi.
Hal ini dapat mengarah pada perilaku tidak patuh seperti pelaporan omzet yang lebih rendah dari sebenarnya atau pemisahan bisnis secara artifisial.
"Menurunkan ambang batas serta menerapkan larangan hukum terhadap praktik ‘bunching’ dapat membantu mengurangi kesenjangan dalam PPN dan PPh Badan," tulis Bank Dunia.
Baca Juga: Indonesia Bisa Kantongi Rp 8 Triliun dari Implementasi Pajak Minimum Global 15%
Tidak hanya itu, ekonomi bawah tanah atau undeground economy yang cukup besar di Indonesia juga berkontribusi pada kesenjangan kepatuhan pajak.
"Rasio penerimaan PPN dan PPh terhadap PDB yang relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang beroperasi dengan tarif yang sama mengindikasikan kurangnya efisiensi dalam pemungutan pajak," tulis Bank Dunia.
Selanjutnya: Arsjad Rasjid Bakal Jadi Komisaris Utama di Entitas Merger EXCL dan FREN
Menarik Dibaca: Herbalife Gelar Pesan 2025, Libatkan Ribuan Peserta di Ratusan Kota
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News