Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Bank Dunia atau World Bank menyoroti masih besarnya sektor ekonomi bawah tanah (underground economy) di Indonesia sebagai salah satu penyebab utama rendahnya kepatuhan pajak dan ketidakefisienan dalam pengumpulan pajak.
Dalam laporan bertajuk Economic Policy: Estimating VAT and CIT Gaps in Indonesia, Bank Dunia mengungkapkan bahwa ekonomi informal yang tidak tercatat secara resmi telah menciptakan celah dalam kepatuhan pajak, sehingga menyebabkan Indonesia kehilangan potensi penerimaan yang signifikan.
"Ekonomi bawah tanah yang cukup besar di Indonesia berkontribusi pada kesenjangan kepatuhan pajak," tulis Bank Dunia dalam laporannya, Kamis (20/3).
Baca Juga: Bank Dunia Samakan Pengumpulan Pajak Indonesia Setara Nigeria, Ini Kata Luhut
Bank Dunia menyebut, rendahnya rasio penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) jika dibandingkan dengan negara-negara lain dengan tarif pajak serupa mengindikasikan kurangnya efisiensi dalam sistem perpajakan Indonesia.
Diberitakan KONTAN sebelumnya, adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo mengatakan bahwa Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu diberi tugas oleh presiden untuk meningkatkan pendapatan negara.
Hashim mengatakan bahwa Prabowo meyakini rasio pendapatan negara akan selevel Kamboja sebesar 18% PDB jika Indonesia berhasil meningkatkan pendapatannya.
"Pak Prabowo sangat antusias, sudah punya tugas khusus untuk pak Anggito. Kita akan nanti lambat laun seperti Cambodia di 18%," katanya.
Hashim menyebut upaya peningkatan pendapatan negara salah satunya dengan mengoptimalkan penerimaan dari shadow economy atau ekonomi bayangan.
Baca Juga: Bank Dunia Sebut Banyak Perusahaan Kemplang Pajak, Pemerintah Buka Suara
Menurutnya, terdapat porsi ekonomi yang tidak tercatat atau dikenal sebagai shadow economy yang berkisar antara 25% hingga 30% dari total ekonomi yang dilaporkan.
Adapun saat ini, kata Hashim, ekonomi Indonesia tercatat berada di angka Rp 22.000 triliun, menjadikannya sebagai ekonomi terbesar ke-16 di dunia.
Namun, jika memasukkan sektor ekonomi yang belum tercatat, angka tersebut dapat meningkat hingga Rp 27.000 triliun hingga Rp 28.000 triliun.
Faktor utama yang menyebabkan ekonomi tidak tercatat ini adalah banyaknya masyarakat yang belum memiliki rekening bank, sehingga transaksi mereka tidak masuk dalam sistem perbankan formal.
Baca Juga: Bank Dunia Sebut 26 Negara Termiskin Alami Kondisi Keuangan Terburuk Sejak 2006
"25% ini tidak tercatat, karena ada yang nakal, banyak juga yang tidak punya rekening bank," katanya.
Apabila penerimaan dari shadow economy atau underground economy ini bisa dioptimalkan, maka Hashim meyakini rasio pendapatan negara bisa mencapai 18% PDB.
Dengan begitu, akan ada penambahan sekitar Rp 900 triliun setiap tahunnya sehingga keuangan negara tidak akan mengalami defisit lagi.
Selanjutnya: Menhan Sjafrie Sjamsoeddin Bantah UU TNI Cepat Disahkan karena Permintaan Prabowo
Menarik Dibaca: Herbalife Gelar Pesan 2025, Libatkan Ribuan Peserta di Ratusan Kota
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News