kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penanganan karhutla dinilai masih terhambat sejumlah perbedaan paradigma


Kamis, 10 September 2020 / 19:43 WIB
Penanganan karhutla dinilai masih terhambat sejumlah perbedaan paradigma


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi salah satu isu krusial di Indonesia. Terkait dengan itu, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas melihat bahwa karhutla sangat berkait dengan isu hak konstitusional tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

Pakar ekonomi dan lingkungan hidup Emil Salim menyebut sering ada kepentingan yang berbeda antar pemerintah dengan akademisi dalam memandang persoalan lingkungan. Kondisi ini muncul karena durasi dan masa bakti pemerintah yang berlaku maksimal 10 tahun. Akibatnya, pola pikir yang dianut di kalangan pemerintahan yaitu jangka pendek. 

"Karena ingin mendapat dukungan masyarakat terutama masyarakat politik, sifat kebijakan menghasilkan proyek yang mudah tampak seperti jalan, gedung, dan pabrik," kata Emil dalam keterangannya, Kamis (10/9). 

Baca Juga: Qlue mendukung Pemkot Kupang dan Tarakan sebagai smart city dalam ambil kebijakan

Dia menambahkan bahwa diperlukan perubahan paradigma pembangunan. "Jika kita ingin mengubah pembangunan yang berlaku dari resource exploitation menjadi pola resource enrichment, perlu dibenahi sumber daya manusia, sains dan teknologi," kata dia.

Di sisi lain, pakar hukum lingkungan Mas Achmad Santosa mengatakan bahwa proses kerusakan alam yang terjadi karena tidak adanya kepatuhan dari perusahaan pemilik izin dan pemerintah daerah. Achmad mencontohkan hasil audit kepatuhan perusahaan hutan dan perkebunan di Provinsi Riau tahun 2014. Ketidakpatuhan dilakukan oleh 10 HTI, 1 HTH, dan 1 perusahaan sagu. Bukan hanya itu, ditemukan juga  4 kabupaten dan kota yang tidak patuh terhadap ketentuan perundang-undangan. 

Dari audit tersebut, dia menyebut ada rekomendasi mengenai perbaikan kebijakan di lahan rawan kebakaran, pelaksanaan pengawasan konsesi, penguatan kapasitas pemda dalam resolusi konflik, pembinaan dan pengawasan berjenjang. Pihak-pihak yang mesti meningkatkan realisasi UU ini adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Kejaksaan. 

Kelemahan penegakan hukum secara administratif dalam persoalan karhutla menurut Achmad Santosa yang biasa dipanggil Ota, karena tidak adanya pengawasan pemda maupun pemerintah pusat. "Pencegahan secara administrasi ini bersifat mudah dan murah, tapi tidak dilakukan, model penegakan hukum yang berlaku banyak  hukum pidana, after the fact," ucap dia. 

Baca Juga: Anggota DPR dari fraksi Demokrat ini sebut aturan staf ahli di perusahaan BUMN lebay

Sementara Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG), Myrna A. Safitri menyampaikan BRG telah berupaya membuka akses keadilan dan pemberdayaan hukum masyarakat. Ini antara lain dilakukan dengan menyelenggarakan pelatihan kepada paralegal secara bertahap di perdesaan gambut. 

“Sudah ada 759 paralegal yang didampingi BRG yang tersebar di 7 provinsi yang menjadi target restorasi.  Paralegal tersebut diberikan tugas untuk membantu pihak desa membuat peraturan desa yang mengarah terwujudnya perlindungan ekosistem gambut di tempatnya masing-masing, memberikan literasi hukum serta melakukan mediasi dan negosiasi ketika ada konflik,” kata Myrna.

Ada 152 kasus yang sudah didampingi paralegal BRG tersebut, sebagian besar kasus itu terkait pertanahan dan lingkungan termasuk soal kebakaran hutan dan lahan . “Kami terus memberikan pendampingan paling tidak nanti paralegal mampu mengidentifikasi kasus dan membuat laporan,” tuturnya. 

Baca Juga: 4 Hal yang boleh dilakukan selama PSBB total di Jakarta

Di lain pihak, pemulihan ekosistem gambut oleh BRG tidak bisa hanya menggunakan pendekatan hukum, BRG juga menyelenggarakan melalui Sekolah Lapang Petani Gambut (SLPG). Melalui kegiatan tersebut, para kader SLPG berlatih  bagaimana tata cara mengelola lahan gambut tanpa bakar. Kemudian, bagaimana mengembangkan lahan gambut menjadi lahan yang produktif dan memberikan manfaat ekonomi serta manfaat ekologi. 

Sementara itu, wakil direktur Pusako Charles Simabura menilai kompleksitas undang-undang yang bersifat umum dan prinsip. "Kinerja legislasi pemerintah kita dan jumlah dan komprehensivitas jelek sekali," kata Charles. 

Selanjutnya: Obituari Jakob Oetama: Peletak pilar Kompas Gramedia telah berpulang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×