kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah putar otak agar penyerapan tenaga kerja lebih tinggi


Rabu, 31 Januari 2018 / 15:24 WIB
Pemerintah putar otak agar penyerapan tenaga kerja lebih tinggi
ILUSTRASI. Target peserta baru BPJS Ketenagakerjaan


Reporter: Ramadhani Prihatini | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus mencari strategi untuk menggenjot penyerapan tenaga kerja di Tanah Air. Maklum saja, penyerapan tenaga kerja di tahun 2017 hanya terealisasi 1,17 juta orang. Angka ini menurun 15% ketimbang tahun 2016 yakni 1,39 juta orang.

Padahal, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatatkan penanaman modal di tahun lalu Rp 678,8 triliun. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyampaikan hal tersebut terjadi lantaran pengaruh teknologi informasi sehingga investasi banyak masuk ke padat modal. Ia bilang pemerintah tengah mengarahkan investor untuk masuk ke padat karya lebih banyak lagi.

"Tapi bukan artinya padat modal tidak boleh, namun padat karya juga perlu menjadi prioritas jadi mungkin bagi investor padat karya boleh diberikan insentif sehingga mereka lebih berminat," kata Hanif, Rabu (31/1).

Sambil berjalan, Kemenaker juga tengah menyelesaikan pekerjaan rumah di bidang ketenagakerjaan. Pertama, ia bilang kualitas sumber daya manusia (SDM) yang harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar industri.

Kedua, memperbanyak kuantitas SDM yang berkualitas, dan ketiga memperbaiki penyebaran yang lebih merata. "Ini memang tantangannya di situ,"imbuh dia.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan sepanjang tahun 2017 industri manufaktur mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja 760.000 orang. Namun begitu, pemerintah masih akan mendorong industri padat karya untuk tumbuh lebih baik.

"Saya pikir kuncinya kita mesti buka akses pasar sebesar-besarnya," ujar Airlangga.

Dia bilang, salah satu yang mesti segera diselesaikan ialah Free Trade Agreement lantaran Indonesia masih belum optimal untuk mengekspor ke Eropa dan Amerika.

"Di Amerika untuk ekspor tekstil kita dikenakan biaya masuk lebih tinggi dibanding negara kompetitor, kalau dengan Uni Eropa kan masih ada beberapa isu termasuk Kelapa Sawit, intelektual property dan beberapa isu lain," pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×