Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Bank Indonesia (BI) tengah mengembangkan Payment ID yang memungkinkan pemantauan seluruh transaksi keuangan digital, dengan menggunakan sumber data Nomor Induk Kependudukan (NIK). Payment ID ini menjadi bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI).
Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) BI, Dudi Dermawan, mengatakan peluncuran tahap awal yang dijadwalkan pada 17 Agustus 2025 mendatang ini, merupakan hasil dari eksperimen internal yang dilakukan kepada seluruh pegawai Bank Indonesia dan penerima Bansos.
Sistem identifikasi digital ini akan menjadi instrumen baru dalam pemantauan seluruh transaksi keuangan digital serta mengefisienkan penyaluran bantuan sosial (bansos). Payment ID dikembangkan berdasarkan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan menjadi bagian dari implementasi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025–2030.
"17 Agustus baru kita launching hasil eksperimentasi Payment ID yang sudah dilakukan di seluruh pegawai Bank Indonesia dan yang kedua adalah penerimaan bansos. Di tanggal tersebut, Pak Prabowo juga akan menyampaikan bahwa ada yang namanya digital publicly processor, termasuk di dalamnya Payment ID," kata Dudi dalam Editor’s Briefing di Labuan Bajo, belum lama ini.
Baca Juga: Dukung Kopdes Merah Putih, BRI Akan Optimalkan Peran Rumah BUMN dan Desa BRILiaN
Payment ID akan menjadi identitas unik yang mengikat data rekening di seluruh bank dengan NIK seseorang. Formatnya terdiri dari sembilan karakter berupa kombinasi konsonan, vokal, dan angka, yang disebut Dudi mudah diingat.
“Sudah kami uji dan bisa mencapai 9 miliar kombinasi. Contohnya, DDS 012 SAR. Bisa disesuaikan dan otomatis diinfokan ke nasabah,” ujarnya.
Dudi menjelaskan bahwa sistem ini menjamin perlindungan data pribadi. Akses terhadap data nasabah hanya bisa dilakukan jika ada persetujuan eksplisit dari pemilik data.
"Pada intinya, harus ada consent. Begitu bank ingin mengakses data saya, saya akan menerima notifikasi di ponsel. Kalau saya setuju, baru bisa dibuka," ujarnya.
BI juga telah menguji Payment ID dalam skema penerima bansos. Hasilnya, sistem ini dinilai efektif untuk mengidentifikasi kemungkinan ketidaktepatan penerima bantuan. Dalam salah satu temuan, seorang penerima tercatat memiliki empat rekening dengan total mutasi mencapai Rp10 juta.
"Padahal bantuan yang diterima hanya Rp600 ribu dan uang keluar Rp500 ribu. Apakah dia layak menerima bansos? Itu kewenangan pemerintah. BI tidak melakukan asesmen, hanya menyampaikan fakta berdasarkan data," ujar Dudi.
Payment ID memungkinkan kementerian dan lembaga melihat histori transaksi penerima bansos secara agregat, termasuk jumlah rekening aktif dan besaran mutasi dana. Namun, Dudi menegaskan, setiap data yang dibagikan kepada instansi lain harus melalui persetujuan Bank Indonesia.
Dalam pengembangan Payment ID, BI juga menggandeng Direktorat Jenderal Dukcapil untuk memastikan validitas data kependudukan. Sebagai contoh, jika ada individu yang telah meninggal, maka sistem akan otomatis memverifikasi ke Dukcapil sebelum menerbitkan Payment ID.
“Kalau tidak terupdate misalnya terupdate data itu sudah meninggal, maka otomatis kami tidak akan berikan payment ID nya,” kata Dudi.
Ke depan, BI juga akan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), khususnya dalam integrasi dengan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSN) yang diperbarui setiap tiga bulan. Tujuannya adalah membangun gambaran yang lebih akurat terhadap neraca rumah tangga masyarakat.
Dengan payment id udah langsung tahu selain dari si ACB tinggal di mana akan ketahuan, ini keuangannya seperti apa. Sehingga ketahuan neraca rumah tangga gimana, kemampuan masyarakat yang benar-benar hidup di bawah garis kemiskinan itu berapa banyak.
“Dengan Payment ID kita langsung tahu lokasi tinggal dan keuangannya seperti apa. Sehingga ketahuan neraca rumah tangga gimana, kemampuan masyarakat, dan yang benar-benar hidup di bawah garis kemiskinan itu berapa banyak,” jelas Dudi.
Dudi memastikan bahwa meski Payment ID akan memperluas cakupan pengawasan keuangan digital nasional, aspek kerahasiaan dan keamanan data pribadi tetap menjadi prioritas utama. Sehingga siapa pun yang ingin mengakses data tetap harus melalui Bank Indonesia dan atas persetujuan pemilik data.
"Jadi, tetap kerahasiaan atau data pribadi akan selalu terlalu terjaga,” tegasnya.
Baca Juga: Penuhi Free Float, JTrust Indonesia Kurangi Kepemilikan Saham di Bank JTrust (BCIC)
Selanjutnya: Tarif Impor AS Turun, Kemenkeu Optimis Ekonomi RI Tumbuh 5% di Paruh Kedua 2025
Menarik Dibaca: Masih Reli, IHSG Ditutup Melesat 1,18% Hari Ini (21/7)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News