Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai optimistis dapat kembali memberikan performa baik di tahun 2020. Penerimaan bea dan cukai diprediksi sampai target biarpun tarif cukai naik dan kinerja ekspor-impor belum tentu pulih dari tahun lalu.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan penerimaan bea dan cukai pada tahun ini mencapai Rp 221,9 triliun, atau naik 6,26% dari target akhir tahun lalu.
Proyeksi pendapatan ini berasal dari pos penerimaan cukai sebesar Rp 179,3 triliun, bea masuk Rp 40 triliun, dan bea keluar Rp 2,6 triliun.
Keyakinan otoritas lantaran tahun 2019 kinerja bea cukai terbilang moncer. Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menunjukkan sepanjang 2019 penerimaan bea cukai mencapai Rp 213,36 triliun atau 102,17% dari target Rp 208,82 triliun.
Baca Juga: Harga rokok naik 35% per 1 Januari 2020, ini rincian lengkapnya
Sebagai kontributor utama, penerimaan cukai tahun 2020 ditargetkan mencapai Rp 179,3 triliun. Angka ini naik 8,2% dari target akhir tahun 2019 senilai Rp 165,8 triliun.
Kenaikan tarif rata-rata cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% serta harga jual eceran (HJE) 35% menjadi jurus penerimaan di tahun ini.
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu Nirwala mengatakan fungsi dasar cukai adalah pengendalian konsumsi. Sehingga aturan menaikkan tarif cukai naik diimbangi dengan penurunan produksi rokok. Hitungan otoritas, produksi rokok akan turun 10%-15% dari tahun lalu.
Namun demikian, Nirwala bilang gejolak industri rokok tidak akan mengganggu penerimaan cukai. Alasannya, akan terjadi keseimbangan, produksi rokok turun, tapi tarif cukai naik dengan klasifikasi layer tarif cukai rokok.
Baca Juga: Resmi, hari ini harga rokok naik menyusul kenaikan tarif cukai
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, secara garis besar pemerintah membedakan tiga tarif cukai rokok.
Pertama, tarif cukai sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 23,29%. Kedua, sigaret putih mesin (SPM) di level 29,95%, Ketig, sigaret kretek tangan (SKT) atau sigaret putih tangan senilai 12,84%.
“Kami optimistis, hitungannya adanya layer ini membuka peluang penerimaan cukai hasil tembakau untuk tumbuh. Produsen rokok pun akan beradaptasi seperti mengurangi panjang rokok, membuat kemasan yang rokoknya lebih sedikit,” kata Nirwala kepada Kontan.co.id, Kamis (9/1).
Di sisi lain, untuk menjaga konsumsi rokok masyarakat dan kelanjutan industri, Bea Cukai melakukan survey pengaruh konsumsi terhadap produsen. Hasilnya, lewat instrumen fiskal cukai, konsumsi masyarakat lebih rendah, sementara industri rokok masih sehat.
Cara lain menjaga pertumbuhan penerimaan cukai di tahun ini, otoritas akan menjalankan pemberantasan rokok ilegal yang ditargetkan hanya tersisa 1% atau lebih rendah dari pencapaian tahun 2019 di level 3%.
Ditambah kebijakan relaksasi pelunasan pita cukai rokok kredit dan efekti tas program Penertiban Cukai Berisiko Tinggi (PCBT).
Eskalasi Cukai
Sejak tahun 2016, pemerintah telah mengajukan beleid tentang cukai plastik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Nirwala bilang tahun ini kemungkinan besar akan segera disahkan oleh legislatif, sebab pembahasannya di tahun 2019 sudah hampir rampung.
Baca Juga: Cukai alkohol dan minuman bisa sumbang Rp 7 triliun hingga akhir 2019
Namun demikian. Kemenkeu menurunkan target penerimaan dari cukai kantong plastik di 2020 dari Rp 500 miliar menjadi Rp 100 miliar.
Pemerintah menganggap target ini lebih realistis sebab industri kantong plastik dan masyarakat masih membutuhkan penyesuaian aturan tersebut. Secara waktu pun, terbuka kemungkinan beleid itu diundangkan pada akhir tahun 2020.
Nirwala mengaku eskalasi cukai memang membutuhkan waktu yang lama. Dalam prosesnya, pemerintah terlebih dahulu membuat kajian pengendalian barang konsumsi masyarakat yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Baca Juga: Ditjen Bea Cukai optimistis realisasi cukai bisa capai Rp 171 triliun di akhir 2019
Saat ini, pemerintah tengah mengkaji konsumsi atas makanan dan/a minuman mengandung gula, garam, dan lemak yang menimbulkan efek negatif. Kajian pemerintah saat ini telah meneliti dampak dari minuman mengandung karbonasi.
“Tapi masih dibahas secara substansi, untuk diatur sebagai barang kena cukai tidak mudah, harus disinkronkan terlebih dahulu Peraturan Antar Kementerian (PAK) nya banyak. Cukai plastik saja memakan waktu yang tidak sebentar,” ujar Nirwala.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News