kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.425.000   10.000   0,41%
  • USD/IDR 16.643   -42,00   -0,25%
  • IDX 8.617   68,26   0,80%
  • KOMPAS100 1.189   7,78   0,66%
  • LQ45 855   3,60   0,42%
  • ISSI 305   2,18   0,72%
  • IDX30 439   -0,22   -0,05%
  • IDXHIDIV20 509   2,81   0,56%
  • IDX80 133   0,64   0,48%
  • IDXV30 139   1,08   0,78%
  • IDXQ30 140   0,30   0,22%

Pemerintah dan BI Harus Siaga Hadapi Tekanan Suku Bunga Global pada 2026–2027


Selasa, 02 Desember 2025 / 22:49 WIB
Pemerintah dan BI Harus Siaga Hadapi Tekanan Suku Bunga Global pada 2026–2027
ILUSTRASI. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memaparkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (20/6). RDG BI pada 20-21 Juni 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI rate 6,25%, Suku bunga Deposit Facility naik ke posisi 5,50% dan suku bunga Lending Facility sebesar 7%. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/20/06/2024


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Suhindarto, menilai tekanan suku bunga global yang diperkirakan masih tinggi di tahun mendatang perlu direspons cepat oleh pemerintah dan bank sentral.

Sebelumnya Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, sudah mengingatkan bahwa risiko fiskal global diperkirakan tetap tinggi hingga dua tahun ke depan.

"Prospek ekonomi global masih belum meredup pada 2026–2027, tingginya utang pemerintah dan suku bunga di negara maju karena defisit fiskal yang terlalu besar. Berdampak pada tingginya bunga dan beban fiskal di negara-negara berkembang," ujarnya dalam pidato Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) belum lama ini.

Meski begitu, Perry memastikan fundamental Indonesia masih kuat. “Kuncinya hanya satu sinergi (pemerintah dan BI),” tegasnya.

Lebih lanjut, Suhindarto menilai respons fiskalmoneter harus berpusat pada disiplin koordinasi kebijakan yang tepat, dengan fokus pada penguatan kepercayaan pasar dan ketahanan ekonomi. Ia menekankan bahwa dari sisi moneter, terdapat sejumlah penguatan penting untuk menghadapi potensi risiko tahun depan.

Baca Juga: Waspada Tekanan Suku Bunga Global, Risiko Biaya Utang Indonesia Bisa Membengkak

Pertama, pengelolaan diferensial suku bunga. Menjaga diferensial BI-Rate yang cukup menarik terhadap suku bunga Federal Reserve AS maupun diferensial imbal hasil di pasar surat utang dinilai sangat krusial.

"Ini penting untuk menarik carry trade asing dan membendung potensi arus modal keluar (capital outflow) yang dapat merusak pasar obligasi domestik dan mengganggu stabilitas nilai tukar," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (2/12/2025).

Suhindarto menyebut pasca pandemi, spread suku bunga domestik dengan AS memang cenderung menyempit.

Kedua, intervensi pasar valas. Ia menilai intervensi yang terukur dan berkelanjutan di pasar spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) penting untuk meredam volatilitas dan mencegah depresiasi rupiah yang destabilisasi, terutama mengingat besarnya utang pemerintah dalam mata uang asing.

Ketiga, pendalaman pasar domestik. Menurutnya, inisiatif memperdalam pasar obligasi dan uang domestik sangat vital. Struktur pasar yang tidak terlalu bergantung pada modal asing akan meningkatkan kemampuan negara meredam gejolak yang berasal dari perubahan selera risiko global.

Ia menilai langkah Bank Indonesia menerbitkan obligasi berimbal hasil mengambang (BI-FRN) sebagai pelengkap SRBI dan SBN diharapkan mampu menyerap kelebihan likuiditas, menstabilkan suku bunga pasar uang, dan meredakan tekanan pada imbal hasil obligasi tenor panjang.

Dari sisi fiskal, Suhindarto menegaskan bahwa konsolidasi fiskal dan pengelolaan utang yang cermat adalah kunci menghadapi tekanan tahun depan.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan pemerintah di antaranya pertama, rasionalisasi belanja. Menurutnya, peninjauan ulang dan eliminasi agresif terhadap belanja pemerintah yang tidak produktif merupakan hal mendesak.

Baca Juga: Suku Bunga Global Tinggi, Waspada Risiko Biaya Utang Membengkak di 2026-2027

Suhindarto menyebut, fokus pemerintah harus dialihkan pada investasi atau belanja-belanja yang memberikan multiplier effect ekonomi tinggi agar pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, seperti pembangunan dan penyambungan konektivitas infrastruktur serta modal manusia, alih-alih pengeluaran operasional rutin.

Kedua, peningkatan pendapatan. Ia menekankan pentingnya peningkatan rasio perpajakan melalui reformasi administrasi, pengawasan kepatuhan yang lebih baik, serta potensi perluasan basis pajak tanpa menghambat iklim investasi.

"Dengan kata lain, kelonggaran pajak mungkin juga diperlukan untuk sektor-sektor penggerak ekonomi, yang mana ketika sector tersebut tumbuh kuat, pemerintah bisa menarik lebih banyak pajak," ungkapnya.

Ketiga, manajemen utang proaktif. Suhindarto menilai strategi pengelolaan utang pemerintah harus fokus pada diversifikasi dan lokalisasi melalui penerbitan SBN berdenominasi rupiah, termasuk Sukuk Hijau untuk memitigasi risiko kurs dan memperkuat pasar domestik.

Pemerintah juga perlu menerapkan taktik waktu penerbitan seperti front-loading pada awal tahun anggaran demi mengamankan kebutuhan pembiayaan dan melindungi APBN dari lonjakan biaya pinjaman yang berpotensi terjadi sepanjang periode ketidakpastian global 2026–2027.

Risiko Utama Biaya Bunga Pemerintah Indonesia Mendatang

Dalam hitungan Kontan berdasarkan data Kementerian Keuangan menunjukkan pemerintahan periode Prabowo 2025–2029 harus menghadapi utang jatuh tempo sekitar Rp 4.000 triliun. Pada 2025 saja, utang jatuh tempo mencapai Rp 800,33 triliun, sementara beban bunga utang berada di level Rp 552,85 triliun.

Mengintip APBN 2026, tekanan belum akan mereda. Pemerintah perlu menarik pembiayaan utang baru senilai Rp 781,87 triliun, ditambah lagi pembayaran bunga utang sekitar Rp 599,4 triliun.

Suhindarto merinci bahwa risiko utama terhadap biaya layanan utang (debt servicing cost) Indonesia berasal dari kombinasi suku bunga global yang tinggi dan volume pinjaman domestik yang besar.

Baca Juga: BI Buka Peluang Pangkas Suku Bunga Tahun Ini di Tengah Ketidakpastian Global

Pertama, tekanan yield global yang berkelanjutan. Suku bunga AS masih tinggi dan bahkan lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Hal ini menciptakan floor biaya pinjaman yang tinggi di pasar negara berkembang termasuk Indonesia.

Konsekuensinya, imbal hasil SBN perlu tetap tinggi agar menarik investor, sehingga langsung meningkatkan biaya bunga utang. Ongkos pinjaman berdenominasi dolar AS pun ikut meningkat.

"Di tengah kondisi ini, pendalaman pasar domestik dan diversifikasi penerbitan obligasi global menjadi penting," ungkapnya.

Risiko kedua adalah dampak dari devaluasi rupiah. Pelemahan signifikan rupiah akan langsung menggelembungkan nilai pokok dan pembayaran bunga utang luar negeri dalam rupiah, sehingga membebani fiskal.

Ketiga, kebutuhan refinancing yang tinggi. Jika volume SBN besar jatuh tempo saat suku bunga tinggi pada 2026–2027, maka risiko refinancing meningkat. Pemerintah akan terpaksa memperbarui utang pada tingkat bunga mahal yang mengunci beban bunga tinggi untuk tahun-tahun berikutnya.

Ia juga menyoroti risiko geopolitik dan fragmentasi ekonomi global. Ketegangan antar negara adidaya dan fragmentasi ekonomi dunia berpotensi meningkatkan risk premium terhadap SBN Indonesia sehingga biaya pinjaman melonjak.

"Kita lihat, selain Rusia-Ukraina dan Timur Tengah, ketegangan juga muncul di Asia Timur antara China dan Jepang. Kemudian, di Venezuela, penempatan pasukan AS di Karibia juga meningkatkan tekanan di kawasan tersebut," ungkapnya.

Baca Juga: Prospek Penurunan Suku Bunga Global Jadi Katalis Positif Pasar Keuangan Indonesia

Selanjutnya: Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut Salurkan Bantuan LPG ke Daerah Terisolir

Menarik Dibaca: AZKO Gelar Promo Diskon 10% untuk Semua Lampu LED, Hingga 7 Desember

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×