Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Awan gelap membayangi prospek biaya utang pemerintah Indonesia. Di tengah suku bunga global yang masih tinggi dan utang negara-negara maju yang kian membengkak, para ekonom menilai risiko peningkatan beban utang Indonesia harus menjadi perhatian serius.
Tekanan eksternal memang tidak main-main. Bank Indonesia (BI) mencatat total utang pemerintahan global telah menembus US$ 110,9 triliun, setara 94,6% PDB dunia. Menariknya, dua pertiga atau sekitar US$ 74,8 triliun berasal dari negara maju.
Kondisi tersebut mendorong imbal hasil obligasi tenor panjang di AS, Inggris, Uni Eropa hingga Jepang bergerak naik. Efek rambatannya jelas pada biaya bunga utang negara berkembang ikut tertekan.
Bagi Indonesia, sentimen ini datang pada saat kewajiban pembayaran utang tengah menumpuk. Hitungan Kontan berdasarkan data Kementerian Keuangan menunjukkan pemerintah periode Prabowo 2025–2029 harus menghadapi utang jatuh tempo sekitar Rp 4.000 triliun.
Pada 2025 saja, utang jatuh tempo mencapai Rp 800,33 triliun, sementara beban bunga utang berada di level Rp 552,85 triliun.
Baca Juga: Suku Bunga Global Tinggi, Waspada Risiko Biaya Utang Membengkak di 2026-2027
Mengintip APBN 2026, tekanan belum akan mereda. Pemerintah perlu menarik pembiayaan utang baru senilai Rp 781,87 triliun, ditambah lagi pembayaran bunga utang sekitar Rp 599,4 triliun.
Gubernur BI Perry Warjiyo sebelumnya juga sudah mengingatkan bahwa risiko fiskal global diperkirakan tetap tinggi hingga dua tahun ke depan.
"Prospek ekonomi global masih belum meredup pada 2026–2027, tingginya utang pemerintah dan suku bunga di negara maju karena defisit fiskal yang terlalu besar. Berdampak pada tingginya bunga dan beban fiskal di negara-negara berkembang," ujarnya.
Meski begitu, Perry memastikan fundamental Indonesia masih kuat. “Kuncinya hanya satu sinergi (pemerintah dan BI),” tegasnya.
Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, melihat risiko lain yang patut diwaspadai, kemungkinan suku bunga global kembali naik jika ekonomi dunia pulih lebih cepat. Ia menyebut skenario di mana The Fed kembali mengetatkan kebijakan.
Baca Juga: Kemenhut Tegaskan Tidak Ada Izin Penebangan Kayu di Tapanuli Selatan Sejak Juni 2025
Menurut Myrdal, pemulihan agresif ekonomi global–termasuk meredanya tensi dagang, pulihnya China, dan naiknya harga energi bisa memicu inflasi baru. Akibatnya, The Fed mungkin perlu menaikkan Fed Funds Rate (FFR).
“Kalau asumsinya batas atas Fed Fund Rate sebelumnya 4% lalu naik ke 4,5%, berarti ada potensi kenaikan sekitar 50 bps. Kondisi ini memang harus diwaspadai,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (2/12/2025).
Kenaikan 50 bps saja menurut Myrdal dapat langsung berdampak menekan APBN. Dengan beban bunga utang yang harus dibayarkan sebesar Rp 599,4 triliun pada 2026, tambahan bunga 50 bps bisa mengerek biaya sekitar Rp 30 triliun.
“Kalau bunganya naik 50 bps, bunga utangnya bisa naik sekitar Rp 30 triliunan,” ungkap Myrdal.
Penerbitan SBN tahun depan juga berpotensi menambah beban. Tahun 2026 pemerintah berencana meningkatkan pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman dengan total sebesar Rp 781,87 triliun pada 2026 sesuai RAPBN. Dengan asumsi tingkat kupon rata-rata 5%, Myrdal memperkirakan pemerintah perlu menyiapkan pembayaran bunga utang sekitar Rp 39 triliun untuk penerbitan SBN tersebut.
Baca Juga: PU Kebut Pemulihan Jalan Pascabencana di Sumatra Jelang Libur Nataru 2025
Meski tekanan meningkat, Myrdal menilai kenaikan bunga utang tidak otomatis membuat pemerintah harus merevisi APBN. Jika kenaikan suku bunga terjadi karena ekonomi tumbuh lebih cepat yang mendorong penerimaan pajak dan bea cukai, maka belanja negara biasanya menyesuaikan secara.
“Selama defisit fiskalnya tetap di bawah 3% sesuai undang-undang, saya rasa tidak perlu ada revisi. Revisi hanya diperlukan jika asumsi berubah dan defisit melewati 3%,” kata Myrdal.
Tantangan terbesar, menurutnya, adalah menjaga ruang fiskal tetap aman di tengah dinamika suku bunga global yang serba cepat. Pemerintah perlu menyiapkan strategi pembiayaan yang lebih hati-hati sembari memaksimalkan momentum pemulihan ekonomi jika terjadi rebound global.
Selanjutnya: Belanja Online AS Saat Cyber Week Tembus US$ 44,2 Miliar Berkat Diskon Besar
Menarik Dibaca: Prediksi Borussia Dortmund vs Bayer Leverkusen DFB Pokal (3/12): Laga Panas Penentuan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













