Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Risiko meningkatnya biaya utang pemerintah Indonesia dinilai perlu diwaspadai. Tekanan tersebut muncul seiring masih tingginya suku bunga global dan membengkaknya pinjaman pemerintah di berbagai negara.
Kondisi utang pemerintahan dunia saat ini memang semakin berat, dengan total telah menembus US$ 110,9 triliun, setara 94,6% terhadap PDB dunia menurut laporan Bank Indonesia (BI). Dari jumlah tersebut, sekitar US$ 74,8 triliun berasal dari negara-negara maju.
Angka jumbo ini mencerminkan kebijakan fiskal ekspansif dan stimulus ekonomi selama satu dekade terakhir yang meninggalkan beban signifikan bagi banyak negara.
Baca Juga: Tak Hanya Sumatra, Banjir 2 Desember 2025 Juga Terjadi Di Wilayah Ini
Amerika Serikat dan China menjadi penyumbang terbesar utang global. Utang pemerintah AS mencapai US$ 38,3 triliun (125% PDB), atau lebih dari sepertiga total utang dunia.
Sementara China mencatat utang US$ 18,7 triliun (96% PDB). Jepang berada di posisi ketiga dengan US$ 9,8 triliun (230% PDB), disusul Inggris US$ 4,1 triliun (103% PDB) dan Prancis US$ 3,9 triliun (117% PDB).
Membengkaknya utang tersebut berdampak pada tingginya suku bunga global. Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun di negara-negara maju seperti AS, Inggris, Uni Eropa, dan Jepang turut menekan negara-negara berkembang. Dampaknya, beban biaya utang negara emerging market, termasuk Indonesia, berpotensi meningkat.
Dalam konteks dalam negeri, tekanan itu menjadi semakin relevan melihat besarnya kewajiban pemerintah Indonesia di periode mendatang. Dalam hitungan Kontan dan data Kementerian Keuangan, utang jatuh tempo yang harus dibayarkan pemerintah pada periode pemerintahan Prabowo (2025–2029) mencapai sekitar Rp 4.000 triliun.
Pada 2025 saja, utang jatuh tempo mencapai Rp 800,33 triliun, dengan beban bunga utang sebesar Rp 552,85 triliun.
Sementara pada tahun depan, dikutip dari data RAPBN 2026 dan Nota Keuangan, pemerintah harus menarik utang baru untuk membiayai APBN 2026 sebesar Rp 781,87 triliun, dan membayar bunga utang sekitar Rp 599,4 triliun.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pidatonya pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), Ia menegaskan bahwa prospek ekonomi global pada 2026–2027 masih dibayangi risiko tinggi, terutama karena defisit fiskal yang besar dan tingginya utang negara maju.
Baca Juga: Kemenhut Tegaskan Tidak Ada Izin Penebangan Kayu di Tapanuli Selatan Sejak Juni 2025
"Prospek ekonomi global masih belum meredup pada 2026-2027, tingginya utang pemerintah dan suku bunga di negara maju karena defisit fiskal yang terlalu besar. Berdampak pada tingginya bunga dan beban fiskal di negara-negara berkembang," ujarnya belum lama ini.
Meski demikian, Perry menegaskan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga di tengah rentetan gejolak global. “Kuncinya hanya satu sinergi (pemerintah dan BI),” ujarnya.
Dari sisi analis, kekhawatiran terhadap peningkatan biaya utang juga disampaikan para ekonom.
Kepala Makroekonomi dan Keuangan Indef, Muhammad Rizal Taufikurahman, menilai bahwa tingginya suku bunga global pada 2026–2027 menunjukkan biaya dana yang mahal akan berlangsung lebih lama.
Dengan kebutuhan pembiayaan APBN yang terus meningkat untuk membiayai program-program prioritas pemerintah, Indonesia perlu memperketat prioritas belanja agar tambahan utang benar-benar mengalir ke sektor produktif.
Menurut Rizal, strategi pembiayaan juga perlu semakin terdiversifikasi, mulai dari memperkuat pasar domestik, memperpanjang tenor utang, hingga mengurangi eksposur valas dan ketergantungan pada investor portofolio jangka pendek.
Dari sisi manajemen risiko, pemerintah perlu lebih aktif mengatur profil jatuh tempo, memperkuat instrumen lindung nilai (hedging) untuk utang valas, dan memanfaatkan momentum pasar melalui strategi front-loading.
Kredibilitas APBN, konsistensi reformasi struktural, dan stabilitas nilai tukar menurut Rizal harus dijaga ketat untuk menahan kenaikan premi risiko.
Baca Juga: Soal Status Bencana di Sumatra dan Aceh, Ketua MPR: Itu Kewenangan Presiden
“Risiko utama tahun depan mencakup lonjakan biaya bunga, tekanan depresiasi rupiah, dan meningkatnya porsi belanja APBN yang tersedot untuk pembayaran bunga utang. Jika tidak dikelola, ruang fiskal untuk belanja sosial dan pembangunan dapat menyempit, sementara sektor swasta bisa terdesak akibat penyerapan likuiditas oleh pemerintah,” jelas Rizal.
Solusi yang perlu ditempuh menurut Rizal yakni menjaga defisit tetap terukur, meningkatkan kualitas belanja publik, dan memfokuskan penarikan utang hanya untuk kebutuhan yang mendorong kapasitas pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, koordinasi fiskal–moneter harus diperkuat dimana pemerintah menjaga disiplin fiskal, sementara Bank Indonesia menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar agar beban bunga utang tidak melonjak.
"Dengan pendekatan ini, tekanan global dapat dikelola tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal," pungkas Rizal
Selanjutnya: Live Streaming Barcelona vs Atletico Madrid & Jadwal La Liga Spanyol
Menarik Dibaca: Prediksi Borussia Dortmund vs Bayer Leverkusen DFB Pokal (3/12): Laga Panas Penentuan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













