kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemberian grasi terpidana korupsi dinilai nodai rasa keadilan


Rabu, 27 November 2019 / 12:22 WIB
Pemberian grasi terpidana korupsi dinilai nodai rasa keadilan
ILUSTRASI. Warga menandatangani petisi saat berpartisipasi dalam aksi simpatik anti korupsi di area Car Free Day, Bundaran HI, Jakarta, Minggu (22/5/2016). Pemberian grasi terpidana korupsi dinilai nodai rasa keadilan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN


Sumber: Kompas.com | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan di Provinsi Riau, Annas Maamun. Pemberian grasi kepada mantan Gubernur Riau tersebut membuat kaget Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Mengutip laporan Kompas.com, Rabu (27/11), Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan pemberian grasi itu justru akan melemahkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Senada dengan Dadang, Direktur Eksekutif Center for Social Political, Economic and, Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun menilai pemberian grasi tersebut justru bisa menjadi musibah untuk Jokowi di tengah citranya yang terus memburuk terkait pembiaran pelemahan KPK. 

Baca Juga: Jokowi harus jelaskan secara terbuka alasan pemberian grasi Annas Maamun

Secara konstitusional dan regulatif, menurut Ubedilah, grasi yang diberikan Presiden terhadap terpidana itu meskipun hal yang dibolehkan karena alasan kemanusiaan, tetapi secara etik politik Grasi untuk koruptor itu menodai rasa keadilan masyarakat. "Sebab korupsi dengan nilai miliaran itu merugikan rakyat banyak," ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (27/11). 

Pemberian grasi dengan alasan kemanusiaan memang telah diatur dalam pasal 6A ayat 1 dan 2, UU Nomor 5 tahun 2010. Namun, Ubedilah menilai ukuran alasan kemanusiaan dalam pasal 6A ayat 1 dan 2, UU Nomor 5 tahun 2010 juga sebetulnya kurang jelas dan tidak detail, memungkinkan kuatnya tafsir sepihak kekuasaan. 

Selain memunculkan tafir sepihak, Menteri Hukum dan HAM, imbuh dia, seharusnya bertugas meneliti serta melaksanakan proses pengajuan grasi. 

Selanjutnya, presiden dapat memberikan grasi setelah memperhatikan pertimbangan hukum tertulis dari Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM. "Nah, pertimbangan MA dan Menkumham ini celah tafsir sepihak dari penguasa," ungkap Ubedilah. 

Baca Juga: Grasi Jokowi kepada terpidana korupsi dikecam

Secara kemanusiaan jika seorang terpidana jatuh sakit, solusi terbaik menurut Ubedilah, justru bukan diberi grasi. Tapi, pemerintah terutama Lembaga Pemasyarakatan (LP) harus memberikan pelayanan kepada narapidana untuk ditangani secara serius kesehatanya bekerja sama dengan rumah sakit terbaik atau dokter terbaik. 

Jadi, pemberian Grasi dari Jokowi untuk koruptor itu justru menodai rasa keadilan masyarakat. Apalagi, kasus korupsi yang dilakukan Annas Maamun ini terkait sektor kehutanan, yakni dugaan suap miliaran rupiah revisi alih fungsi hutan di Riau. 

"Korupsi di sektor kehutanan ini memiliki dampak besar terhadap lingkungan dan penurunan kualitas kesehatan masyarakat secara luas," katanya lagi. (Ariska Puspita Anggraini)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pemberian Grasi Terpidana Korupsi Dinilai Nodai Rasa Keadilan"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×