kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45936,04   7,69   0.83%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengakhiri diskriminasi penderita AIDS dengan edukasi


Senin, 22 Juli 2019 / 13:17 WIB
Mengakhiri diskriminasi penderita AIDS dengan edukasi


Sumber: Kompas.id | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - Gejala HIV/AIDS di kalangan anak-anak harus diwaspadai lantaran trennya menunjukkan peningkatan yang signifikan. Kasus HIV pada anak menunjukkan wabah tersebut tidak lagi menyerang kelompok tertentu dengan perilaku yang berisiko tinggi.

Gejala HIV/AIDS di kalangan anak-anak harus diwaspadai lantaran trennya menunjukkan peningkatan yang signifikan. Kasus HIV pada anak menunjukkan, wabah tersebut tidak lagi menyerang kelompok tertentu dengan perilaku yang berisiko tinggi.

Human immunodeficiency virus atau HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Begitu menginfeksi, virus ini akan menggerogoti sistem kekebalan tubuh dalam waktu yang lama tanpa menunjukkan gejala apa pun. Ketika kekebalan sudah lemah, tubuh menjadi rentan terhadap serangan segala macam penyakit. Di sinilah fase munculnya penyakit AIDS pada tubuh seseorang yang terinfeksi HIV.

Umur virus HIV di luar tubuh manusia terbilang sangat pendek karena akan mati beberapa saat di udara bebas. Namun, potensi penularannya sangat besar jika media penularan dilakukan secara intens lewat darah ke darah, hubungan seksual, dan jarum suntik. Secara diam-diam virus HIV terus menyebar dari satu tubuh ke tubuh lain melalui media penularan tersebut.

Ibu rumah tangga sangat rentan terinfeksi HIV karena bisa saja tertular dari pasangannya. Ibu rumah tangga dengan HIV/AIDS juga berpotensi menularkan virus ini kepada janin yang ada dalam kandungan mereka ketika hamil. Selain penularan yang terjadi sejak dalam kandungan, seorang ibu bisa menularkan HIV melalui air susu ibu ketika menyusui bayinya.

Pemahaman mengenai penularan HIV kepada bayi dan anak-anak ini merupakan pengetahuan yang kompleks. Jajak pendapat Kompas pada awal Juli lalu mengungkapkan tingkat pengetahuan responden tentang penularan HIV/AIDS.

Delapan dari sepuluh responden menyatakan mengetahui bahwa ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS bisa saja menularkan penyakit tersebut kepada bayi yang dilahirkan atau anak-anak yang mereka susui. Hanya 18,34 persen yang tidak mengetahui.

Penularan HIV kepada bayi dan anak-anak ini harus dianggap serius karena kasusnya meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sejak tahun 2010 hingga 2018, jumlah bayi dan anak dengan HIV terus bertambah.

Tren anak terinfeksi HIV pada kelompok anak dengan rentang usia 0-4 tahun meningkat selama kurun waktu delapan tahun. Tahun 2010, jumlah anak terinfeksi HIV tercatat 390 jiwa. Tahun 2018, jumlah yang terinfeksi mencapai 988 jiwa. Artinya, dalam waktu delapan tahun, anak-anak terinfeksi HIV meningkat hingga tiga kali lipat.

Pada kelompok kedua, dengan rentang usia 5-14 tahun, trennya cenderung stabil. Hampir tidak ada lonjakan signifikan jumlah anak terinfeksi HIV dari tahun 2010 hingga 2018. Adapun pada kelompok ketiga dengan rentang usia 15-19 tahun, tren terinfeksi HIV relatif sama dengan kelompok pertama. Mereka yang berada dalam masa transisi ini paling rawan perkembangan jiwanya sehingga kelompok merekalah yang paling banyak terinfeksi.

Problemnya adalah keberadaan bayi dan anak-anak yang terinfeksi HIV masih menjadi polemik lantaran tidak diterima sebagian masyarakat. Stigma negatif terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) disamakan juga kepada anak dengan HIV/AIDS (ADHA). Umumnya masyarakat masih menganggap bahwa HIV/AIDS adalah penyakit menular mematikan sehingga ADHA harus dikeluarkan dari masyarakat.

Stigma negatif

Stigma bahwa HIV/AIDS adalah penyakit kotor, mudah menular, dan mematikan terus muncul sehingga ADHA dan ODHA terdiskriminasi dan sulit mendapatkan pengobatan.

Saat ini, pemerintah, aktivis, dan LSM telah mengampanyekan program pemberantasan HIV/AIDS yang penyebarannya sulit dideteksi secara kasatmata. Kampanye tersebut berhasil memberikan informasi kepada masyarakat tentang HIV/AIDS sehingga pengetahuan mereka tentang penyakit ini terus bertambah. Dari hasil jajak pendapat Kompas terungkap, hampir semua responden (89,96 persen) menyatakan sudah mengenal HIV/AIDS.

Hasil jajak pendapat ini juga mengungkapkan pengalaman responden berelasi atau berhubungan sosial dengan para pengidap HIV/AIDS. Hanya 11,39 persen yang menyatakan pernah berelasi sosial dengan ODHA. Bagian terbesar responden jajak pendapat, yaitu 83,01 persen, menyatakan belum pernah berelasi dengan ODHA.

Dalam jajak pendapat ini, responden pun tahu bahwa penularan HIV/AIDS hanya bisa terjadi melalui perilaku berisiko, terutama lewat hubungan seks dan penggunaan jarum suntik beramai-ramai. Karena itulah, perilaku normal dalam aktivitas sehari-hari tidak akan bisa menularkan virus yang mematikan sistem kekebalan tubuh manusia tersebut. Pendapat ini diungkapkan 67,76 persen responden. Sebaliknya, responden yang percaya bahwa perilaku normal dalam aktivitas harian rentan menularkan HIV hanya 18,34 persen.

Perilaku seks bebas merupakan media yang paling potensial menularkan virus yang berbahaya ini. Separuh responden (52,12 persen) setuju dengan fakta tersebut. Selanjutnya, 20,27 persen responden menyebutkan jarum suntik yang tidak steril juga berpotensi menularkan HIV. Adapun sentuhan dan gaya hidup bisa menjadi media penularan hanya dijawab segelintir responden.

Yang penting adalah bahwa hampir semua publik (91,70 persen) responden mengatakan bahwa HIV/AIDS bukan kutukan Tuhan. Hal ini memberi peluang bagi upaya-upaya penanganan kasus HIV /AIDS oleh pemerintah dan kalangan swasta dengan metode ilmiah tanpa kekhawatiran penolakan dari sisi nilai.

Diskriminasi

Elizabeth Reid menulis pada bagian pendahuluan buku yang disuntingnya, HIV & AIDS: Interkoneksi Global, bahwa ”HIV mempunyai kekuatan untuk menghancurkan suami dan istri, orangtua dan anak-anak, mengakibatkan orang saling menyerang, menjadi penyebab orang saling menghindar, mengekalkan penghinaan dan kekejaman….”

Tulisan itu mengisyaratkan, HIV pada akhirnya akan membuat masyarakat terbelah antara mereka yang mau menerima ODHA dan mereka yang menolak kehadiran mereka. Pembelahan sikap ini lalu memicu munculnya sikap diskriminatif terhadap para penyandang HIV/AIDS.

Pada 2018 dan 2019, paling tidak terjadi dua kasus pengusiran anak-anak dari sekolah dan tempat tinggal mereka karena masyarakat tak bisa menerima mereka sebagai ODHA. Kasus itu menjadi contoh nyata dari stigma negatif dan diskriminasi yang dilakukan masyarakat kepada para penyandang HIV/AIDS.

Kasus pertama adalah pengusiran tiga anak dengan HIV/AIDS di Desa Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Oktober 2018. Ketiga anak, yaitu dua anak masih sekolah di SD negeri dan satu masih sekolah di PAUD, diminta masyarakat setempat dikeluarkan dari sekolah. Ketiganya dilarang digabungkan dengan siswa lain dan diultimatum untuk pergi dari Kabupaten Samosir.

Kisah serupa dialami 14 siswa yang diduga membawa HIV/AIDS di Kota Solo, Jawa Tengah, pada Februari 2019. Mereka terpaksa keluar dari sekolah karena desakan orangtua siswa lain. Alasan orangtua adalah tidak ingin anak-anak di sekolah itu tertular virus HIV/AIDS.

Sosialisasi

Sejauh ini, pemerintah membangun tempat-tempat pengobatan yang bisa dijangkau ODHA. Agar program percepatan penanggulangan ini berhasil, pemerintah mewajibkan pemeriksaan HIV bagi wanita hamil sejak 2013.

Terkait dengan peran pemerintah dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS, publik mengapresiasinya dengan baik. Setidaknya, apresiasi tersebut dinyatakan 44,59 persen responden jajak pendapat. Menurut mereka, penanganan pemerintah terhadap ODHA sudah memadai.

Akan tetapi, responden yang menjawab belum memadai masih cukup besar, yaitu 37,26 persen. Apresiasi publik ini mengindikasikan penilaian positif atas keberhasilan pemerintah dalam mengontrol penyebaran HIV/AIDS untuk melindungi warga yang masih sehat.

Hingga Juni 2018, tercatat 301.959 kasus HIV dan 108.829 kasus AIDS yang tersebar di 544 kabupaten/kota. Untuk menanganinya, tentu dibutuhkan waktu yang lama. Selain keterbatasan obat-obatan, ada stigma negatif terhadap ODHA dan ADHA yang juga membatasi keinginan mereka memeriksakan diri.

Masyarakat harus terus diedukasi dengan informasi yang benar tentang HIV/AIDS agar stigma negatif yang mendiskriminasi ODHA dan ADHA bisa dikikis. (LITBANG KOMPAS)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×