Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sejumlah ekonom memprediksi, pengenaan penuh kebijakan Tarif Trump sebesar 32% ke Indonesia tidak akan berdampak signifikan pada tingkat inflasi domestik.
Meskipun saat ini delegasi pemerintahan Indonesia masih mengupayakan negosiasi dengan pemerintahan Amerika Serikat terkait win-win solution yang akan berlangsung selama beberapa hari ke depan.
Ekonom dan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menyampaikan, dengan pengenaan besaran Tarif tersebut ke Indonesia, pemerintah kemungkinan tidak akan menyerang balik dengan menerapkan tarif yang sama atas barang impor dari Amerika Serikat.
Baca Juga: Dampak Tarif Impor Trump, Industri Elektronika Tekankan Kebijakan TKDN
"Dengan demikian, kebijakan Trump tidak berdampak ke inflasi domestik Indonesia. Yang berpotensi mengalami kenaikan inflasi adalah perekonomian Amerika," ungkap Piter kepada Kontan, Rabu (16/4).
Kebijakan Trump yang memicu perang dagang bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi global. Sehingga ekspor Indonesia ke America dan negara lain berpotensi menurun yang lebih lanjut bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Apabila hal ini terjadi, Piter memprediksi akan ada permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penurunan daya beli yang saat ini sudah dirasakan bisa berlanjut atau bahkan memburuk.
"Lemahnya daya beli berujung kepada tingkat inflasi yang rendah. Tapi bulan Maret-April Saya kira udah tidak terjadi deflasi," ungkapnya.
Baca Juga: APINDO Sebut Amerika Terancam Kena Inflasi Tinggi Imbas Kebijakan Tarif Impor Trump
Sementara itu, Kepala Makroekonomi dan Keuangan Indef Muhammad Rizal Taufikurahman menyampaikan, jika kebijakan tarif Trump diberlakukan secara penuh melalui pendekatan reciprocal tariffs yakni 32%, dan Indonesia membalas hal yang sama, maka Indonesia akan sangat berisiko mengalami tekanan inflasi dari sisi penawaran (cost-push inflation).
Ditambah lagi dengan bea masuk ekspor ke AS yang meningkat akibat kebijakan Tarif Trump, sehingga ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Pasalnya Indonesia sendiri diklaim Trump mengenakan tarif 64% atas bea masuk barang AS ke Indonesia.
Menurut Rizal, kenaikan tarif impor AS maupun mitra sekutunya akan berdampak pada biaya input industri domestik, terutama di sektor-sektor yang bergantung seperti manufaktur berorientasi ekspor, agribisnis modern, dan farmasi.
Baca Juga: Ekspor SDA RI Tertekan Tarif Impor Trump
"Tekanan ini dapat semakin memburuk jika disertai depresiasi rupiah, akibat meningkatnya ketidakpastian global dan pelarian modal ke aset dolar AS, yang secara langsung mempermahal biaya impor Indonesia," ungkap Rizal kepada Kontan, Rabu (16/4).
Meski demikian, Ia menilai tekanan inflasi dapa diatasi apabila terdapat sinergi kebijakan yang cepat dan tepat antara otoritas fiskal dan moneter, dimana Bank Indonesia perlu mengoptimalkan instrumen stabilisasi nilai tukar dan menjaga ekspektasi inflasi tetap terjaga, meskipun berisiko menekan konsumsi akibat pengetatan moneter.
"Saat ini, tekanan deflasi lebih disebabkan oleh lemahnya daya beli, stagnasi upah riil, dan efek PHK di sektor padat karya, namun jika tarif Trump diterapkan, tekanan tersebut dapat beralih menjadi inflasi sisi penawaran (cost-push inflation) akibat naiknya biaya produksi dan harga barang impor," ungkap Rizal.
Baca Juga: DPR Ingatkan Pemerintah Berhati-Hati Hitung Untung Rugi Kebijakan Tarif Impor Trump
Dalam skenario moderat, Rizal memproyeksikan inflasi berpotensi meningkat 1–2% di atas baseline, sehingga proyeksinya pada 2025 bisa mencapai 3,5%–5,0%, lebih tinggi dari target awal pemerintah sebesar 2,8%.
"Tanpa intervensi yang tepat, situasi ini bisa memunculkan risiko stagflasi ringan, sehingga dibutuhkan bauran kebijakan yang seimbang untuk menjaga daya beli sekaligus mengendalikan tekanan harga agar tidak menghambat pemulihan ekonomi nasional," ungkap Rizal
Selanjutnya: Aplikasi Kantong UMKM Perkuat Kebijakan Subsidi Bunga Pemkot Depok
Menarik Dibaca: 5 Makanan yang Tidak Boleh Dipanaskan Kembali, Awas Beracun!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News