Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID JAKARTA. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di berbagai sektor industri masih berlanjut sejak 2024 dan terus berlanjut hingga awal 2025. Kasus terbaru adalah kebangkrutan PT Sritex yang menyebabkan lebih dari 10.000 karyawan kehilangan pekerjaan pada awal Maret 2025.
Berdasarkan laporan analisis Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan, ketenagakerjaan, dan jaminan sosial, diperkirakan sebanyak 280.000 pekerja di sektor tekstil akan mengalami PHK sepanjang 2025.
Pada kuartal pertama 2025, beberapa perusahaan lain juga telah melakukan PHK massal, termasuk Yamaha, KFC, dan Sanken.
Baca Juga: Menakar Dampak PHK Massal di Awal Tahun 2025 Terhadap Penerimaan Negara
Di tengah peningkatan angka pengangguran, Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 meningkat 45% pada 2025, mencapai Rp 313,5 triliun.
Meskipun terjadi PHK massal, sejumlah pengamat pajak menilai dampaknya terhadap penerimaan pajak negara tidak signifikan. Hal ini karena negara tetap memperoleh potongan dari pembayaran pesangon para karyawan yang terkena PHK.
"Ketika ada PHK, seringkali pekerja yang terdampak adalah pekerja dengan upah minimum sehingga dampaknya terhadap penerimaan PPh 21 tidak terlalu besar. Selain itu, pembayaran pesangon juga menjadi objek PPh 21, sehingga penerimaan pajak tetap terjaga," ujar Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, kepada Kontan, Selasa (4/3).
Prianto menambahkan bahwa prediksi gelombang PHK pada 2025 masih bersifat perkiraan. Dari sisi PPh badan, penutupan perusahaan juga tidak terlalu berdampak karena sebagian besar perusahaan yang ditutup telah mengalami kerugian dalam beberapa tahun terakhir, sehingga tidak memiliki kewajiban membayar PPh badan.
Baca Juga: KSPI Batalkan Aksi Demo soal PHK Massal Sritex pada 5 Maret 2025, Ada Apa?
"Saya melihat bahwa target penerimaan pajak dari segmen PPh masih aman, sehingga pemerintah belum perlu merevisi target penerimaan meskipun ada gelombang PHK," jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa proyeksi penerimaan PPh 2025 masih dapat mengacu pada Undang-Undang APBN 2025. Pemerintah dapat mengoptimalkan penerimaan pajak melalui intensifikasi, seperti penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), serta pemeriksaan pajak.
Sementara itu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menegaskan bahwa PHK massal tidak serta-merta berdampak besar pada penerimaan pajak negara.
"Tidak semudah itu. Memang banyak PHK, tetapi perlu melihat sisi penyerapan tenaga kerja. Selain itu, kenaikan upah juga mempengaruhi kinerja PPh 21 orang pribadi," katanya kepada Kontan, Selasa (4/3).
Fajry menambahkan bahwa untuk memahami dampak PHK terhadap penerimaan negara, perlu mempertimbangkan keseluruhan dinamika industri, termasuk penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan upah yang dapat mengimbangi penerimaan pajak.
Baca Juga: PHK Massal Jadi Tantangan Berat Pemerintahan Prabowo-Gibran
"Jadi tidak terjadi penurunan PPh 21," pungkasnya.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, penerimaan pajak hingga 31 Desember 2024 mencapai Rp 1.932,4 triliun atau 100,5% dari target, tumbuh 3,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini didorong oleh penerimaan pajak utama, termasuk PPh 21, PPh final, dan PPh dalam negeri.
Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, mengungkapkan bahwa pajak yang bersifat transaksional, seperti PPh 21, tetap tumbuh signifikan, didorong oleh pembayaran gaji dan tunjangan hari raya (THR).
Namun, di sisi lain, data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sepanjang 2024, sekitar 80.000 pekerja mengalami PHK, meningkat dibandingkan 2023 yang mencatat angka 60.000 pekerja terkena PHK.
Selanjutnya: Adaro Andalan (AADI) Kantongi Laba Sebesar US$ 1,21 Miliar pada 2024
Menarik Dibaca: 30 Ucapan HUT Kostrad Ke-64 Tahun Untuk Caption Sosmed Tanggal 6 Maret Nanti
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News