Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Tendi Mahadi
Ketiga, yang perlu disoroti terkait pengawasan tersentralisasi dan kewenangan pejabat pengawas lingkungan yang mampu untuk merespon pencemaran/perusakan dihilangkan.
Keempat, Sanksi pidana diperlemah, karena hanya dapat dijatuhkan jika sanksi administratif tidak dijalankan. Masalahnya keputusan sanksi administratif tidak dijalankan akan sangat subjektif sekali.
"Ini kembali ke konsep UU Lingkungan yang lama (tahun 1997) dan terbukti pada masa itu penegakan hukum lemah," ujar dia.
Baca Juga: Penciutan wilayah eks lahan PKP2B dalam Omnibus Law masih dimungkinkan
Kelima, ketentuan pertanggungjawaban mutlak yang sebenarnya sering digunakan negara dalam menjerat korporasi pembakar hutan menjadi tidak jelas dan dapat ditafsirkan sebagai perbuatan melawan hukum (menjadi semakin lemah).
Padahal dalam banyak kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), negara menang karena ketentuan pertanggungjawaban mutlak ini (strict liability).
Melihat hal tersebut, Raynaldo menilai investasi di sektor lingkungan hidup (LH) dan sumber daya alam (SDA) dipermudah dengan penyederhanaan Amdal dan penghapusan izin lingkungan, tapi pengawasan dan penegakan hukum diperlemah.
Baca Juga: Begini tanggapan perusahaan PKP2B pasca beredarnya draf omnibus law Cipta Kerja
Padahal jika penegakan hukum tidak jalan sementara pencemaran, kerusakan dan konflik terjadi, yang dirugikan juga pelaku usaha. Karena mereka harus membayar biaya lingkungan tersebut dan rugi atas konflik yang terjadi.
"Lebih lanjut generasi yang akan datang akan mengalami kerugian karena tidak dapat menikmati kualitas lingkungan yang sama baiknya dengan generasi saat ini. Lagi-lagi biaya itu akan ditanggung oleh generasi yang akan datang," tutur Raynaldo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News