Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID -Â JAKARTA. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai terdapat poin-poin penting yang mesti menjadi sorotan pemerintah dalam omnibus law cipta kerja khususnya terkait aspek lingkungan hidup.
Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring mengatakan, setidaknya terdapat lima poin yang mesti diperhatikan terkait aspek lingkungan hidup.
Baca Juga: Omnibus Law akan hapus SKK Migas, bagaimana nasib BPH Migas?
Pertama, dari RUU cipta kerja terlihat bahwa penyusunan analisis dampak lingkungan (Amdal) akan lebih dipermudah. Beberapa utak atik pasal tentang Amdal, kata dia, menunjukan kemungkinan besar ke arah sana, walaupun publik harus menunggu detailnya dalam peraturan pelaksana.
"Tapi yang jelas pelibatan masyarakat dalam penyusunan dibatasi, hanya untuk masyarakat terdampak saja, sedangkan untuk organisasi lingkungan dan masyarakat lain yang terpengaruh, tidak," ungkap Raynaldo, Jumat (14/2).
Kedua, izin lingkungan dihapus. Padahal izin lingkungan ini menjadi pintu masuk pengawasan untuk menilai tingkat kepatuhan pelaku usaha. Izin lingkungan juga menjadi instrument control jika pelaku usaha mencemari/merusak lingkungan.
Dalam UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, jika izin lingkungan dicabut, otomatis izin usaha juga batal. "Jadi perlindungan terhadap lingkungannya jelas. Hal ini berbeda dengan RUU cipta kerja," terang dia.
Baca Juga: Omnibus law mudahkan UMKM dirikan PT, seberapa efektif?
Seperti diketahui, sebagai gantinya pemerintah menyebutkan persetujuan lingkungan dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha dan pengadaan lahan.
Ketiga, yang perlu disoroti terkait pengawasan tersentralisasi dan kewenangan pejabat pengawas lingkungan yang mampu untuk merespon pencemaran/perusakan dihilangkan.
Keempat, Sanksi pidana diperlemah, karena hanya dapat dijatuhkan jika sanksi administratif tidak dijalankan. Masalahnya keputusan sanksi administratif tidak dijalankan akan sangat subjektif sekali.
"Ini kembali ke konsep UU Lingkungan yang lama (tahun 1997) dan terbukti pada masa itu penegakan hukum lemah," ujar dia.
Baca Juga: Penciutan wilayah eks lahan PKP2B dalam Omnibus Law masih dimungkinkan
Kelima, ketentuan pertanggungjawaban mutlak yang sebenarnya sering digunakan negara dalam menjerat korporasi pembakar hutan menjadi tidak jelas dan dapat ditafsirkan sebagai perbuatan melawan hukum (menjadi semakin lemah).
Padahal dalam banyak kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), negara menang karena ketentuan pertanggungjawaban mutlak ini (strict liability).
Melihat hal tersebut, Raynaldo menilai investasi di sektor lingkungan hidup (LH) dan sumber daya alam (SDA) dipermudah dengan penyederhanaan Amdal dan penghapusan izin lingkungan, tapi pengawasan dan penegakan hukum diperlemah.
Baca Juga: Begini tanggapan perusahaan PKP2B pasca beredarnya draf omnibus law Cipta Kerja
Padahal jika penegakan hukum tidak jalan sementara pencemaran, kerusakan dan konflik terjadi, yang dirugikan juga pelaku usaha. Karena mereka harus membayar biaya lingkungan tersebut dan rugi atas konflik yang terjadi.
"Lebih lanjut generasi yang akan datang akan mengalami kerugian karena tidak dapat menikmati kualitas lingkungan yang sama baiknya dengan generasi saat ini. Lagi-lagi biaya itu akan ditanggung oleh generasi yang akan datang," tutur Raynaldo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News