Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi belum bisa memutuskan langkah apa yang akan diambil untuk menindaklanjuti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang memutuskan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan tidak sah.
Deputi Bidang Pencegahan KPK Johan Budi mengatakan, jajaran pimpinan dan Biro Hukum KPK sudah membahas putusan yang dibacakan hakim Sarpin Rizaldi tersebut. Pihaknya langsung membahas apa saja yang menjadi dasar hakim Sarpin dalam putusannya.
Hasil pembahasan tersebut, KPK menunggu salinan putusan tersebut untuk dipelajari. Untuk itu, pihaknya akan segera mengirimkan surat kepada PN Jaksel yang berisi permintaan salinan putusan.
"Jadi, belum ada langkah-langkah apa pun sebelum KPK membaca secara lengkap putusan yang dibacakan hakim," kata Johan saat jumpa pers di Gedung KPK, Senin (16/2).
Johan mengakui bahwa dalam pertemuan tersebut juga dibahas berbagai opsi yang bisa diambil untuk menindaklanjuti putusan hakim Sarpin. Namun, ia tidak mau mengungkapkan apa saja opsi tersebut.
"Ada opsi-opsi yang sempat dibahas, tapi belum ada keputusan sebelum KPK mendapatkan salinan putusan dan dipelajari dulu secara rinci," kata Johan.
Hakim Sarpin memutuskan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK tidak sah. Hakim menganggap KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengusut kasus yang menjerat Budi.
KPK menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.
Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur sejumlah hal yang menjadi kewenangan KPK. Disebutkan, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Selain itu ialah kasus yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat serta kasus yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
Dalam putusannya, Sarpin menganggap Karobinkar merupakan jabatan adminstratif dan bukan penegak hukum. Selain itu, saat kasus yang disangkakan terjadi, Budi bukan penyelengara negara lantaran saat itu masih golongan eselon II A.
Hakim menganggap bahwa publik tidak mengenal Budi saat masih menjabat Karobinkar. Publik, kata dia, baru mengenal Budi sejak yang bersangkutan diputuskan menjadi calon kepala Polri oleh Presiden Joko Widodo.
Sehari setelah itu, pemohon ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sehingga klasifikasi mendapat perhatian masyarakat sebagaimana dimaksud dengan Pasal 11 huruf b UU KPK tidak terpenuhi.
Tidak ada kerugian negara
Hakim Sarpin juga menganggap kasus yang menjerat Budi tidak merugikan negara. Hakim mengacu pada surat perintah penyidikan (sprindik) tertanggal 12 Januari 2015, yang isinya Budi diduga melakukan korupsi secara bersama-sama berupa penerimaan hadiah.
"Menimbang bahwa perbuatan menerima hadiah atau janji tidak dikaitkan dengan timbulnya kerugian terhadap negara karena perbuatan tersebut berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan. Dengan demikian, apa yang diduga dilakukan oleh pemohon (Budi) tidak menyebabkan kerugian negara sehingga kualifikasi dalam Pasal UU KPK tidak terbukti," kata Sarpin.
Atas semua pertimbangan tersebut, hakim Sarpin menganggap kasus Budi bukan subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
"Maka, proses penyelidikan yang dilakukan KPK tidak sah dan tidak berdasarkan hukum. Penetapan a quo (tersangka) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Sarpin. (Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News