Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) atas pencabutan hak politik mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq seharusnya menjadi rujukan bagi hakim pengadilan di bawahnya. Hal tersebut dikatakan Bambang, lantaran selama ini Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (KPK) belum pernah mengabulkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK untuk mencabut hak politik terdakwa korupsi.
"Putusan MA soal hukuman tambahan yang mencabut hak politik seseorang karena terbukti melakukan kejahatan korupsi bisa menjadi benchmark dan rujukan bagi pengadilan," kata Bambang melalui pesan singkat, Selasa (16/9).
Lebih lanjut menurut Bambang, perbuatan korupsi yang dilakukan para koruptor tersebut adalah fakta yang tidak terbantahkan lantaran perilaku privatisasi dan personalisasi kekuasaan oleh pejabat publik yang dilakukan secara melawan hukum dan transaksional. "Sanksi hukum bertemu dengan sanksi sosial politik diharapkan bisa membuat efek deterent yang lebih kuat dan tegas," tambah dia.
Sebelumnya, Luthfi divonis 16 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia dinyatakan terbukti korupsi dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Pengadilan tipikor juga menjatuhkan hukuman tambahan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hanya memperbaiki lamanya subsider denda, yaitu dari satu tahun kurungan menjadi enam bulan kurungan.
Dalam putusan kasasi di tingkat MA, dengan ketua majelis kasasi yang juga Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar, hukuman Luthfi diperberat menjadi 18 tahun penjara dengan hukuman tamabahan berupa pencabutan hak politik Luthfi.
Dalam pertimbangannya, majelis kasasi menilai judex facti (pengadilan tipikor dan PT DKI Jakarta) kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan seperti disyaratkan pada 197 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di dalam pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd). Hal yang memeberat itu adalah, Luthfi sebagai anggota DPR melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi fee. Perbuatan Luthfi itu menjadi ironi demokrasi. Sebagai wakil rakyat, dia tidak melindungi dan memperjuangkan nasib peternak sapi nasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News