kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.943.000   -7.000   -0,36%
  • USD/IDR 16.305   31,00   0,19%
  • IDX 7.096   -60,14   -0,84%
  • KOMPAS100 1.034   -9,66   -0,93%
  • LQ45 791   -9,22   -1,15%
  • ISSI 231   -1,23   -0,53%
  • IDX30 411   -3,83   -0,92%
  • IDXHIDIV20 482   -3,85   -0,79%
  • IDX80 116   -1,20   -1,02%
  • IDXV30 119   -0,78   -0,65%
  • IDXQ30 132   -1,23   -0,92%

Kemenperin Ingatkan Industri Bersiap Hadapi Dampak Perang Iran - Israel


Rabu, 18 Juni 2025 / 10:20 WIB
Kemenperin Ingatkan Industri Bersiap Hadapi Dampak Perang Iran - Israel
ILUSTRASI. Kemenperin mengingatkan dampak konflik Israel-Iran bisa memicu gangguan signifikan di pasar global, tak terkecuali bagi sektor manufaktur.. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi geo-politik dunia kembali memanas, imbas konflik militer antara Iran vs Israel. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengingatkan dampak konflik yang bisa memicu gangguan signifikan di pasar global, tak terkecuali bagi sektor manufaktur.

Indonesia rentan terhadap gejolak harga energi dan pangan dunia, serta gangguan rantai pasok bahan baku. Kemenperin mengingatkan tantangan yang dihadapi industri meliputi risiko kenaikan biaya produksi, peningkatan biaya logistik dan pelemahan permintaan ekspor. 

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan pentingnya memitigasi risiko dampak perang Iran-Israel pada industri. Terutama ketergantungan industri dalam negeri pada energi impor sebagai bahan baku maupun komponen input produksi.

Baca Juga: Pemimpin Iran Makin Terisolasi, Israel Hancurkan Orang-Orang Terdekat Khamenei

Selain itu, mitigasi dibutuhkan mengantisipasi gangguan pada rantai pasok global terutama pada rantai pasok bahan baku industri. Sebab, jalur logistik bahan baku dan produk ekspor industri melewati timur tengah yang sedang dilanda konflik terbuka.

Menperin juga mengingatkan industri manufaktur agar memitigasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar mata uang, yang berakibat terhadap inflasi harga input produksi dan penurunan daya saing ekspor produk industri. Adapun, dampak langsung konflik Iran-Israel paling terlihat di pasar energi.

Timur Tengah merupakan penghasil minyak utama, yang menyumbang hampir 30% produksi global. Gangguan pada pasokan dari Iran yang produksinya mencapai 3,2 juta barel per hari akan memicu gangguan pasokan sekaligus memicu fluktuasi harga energi di pasar internasional.

Harga minyak Brent telah berfluktuasi antara US$ 73 hingga US$ 92 per barel pasca perang Iran-Israel, dengan analis memperingatkan potensi kenaikan 15%-20% pada 2025. Volatillitas harga energi dunia juga semakin tinggi seiring dengan munculnya ancaman penutupan selat Hormuz yang telah menjadi urat nadi jalur pasokan energi dunia.

“Karena itu, industri dalam negeri diminta lebih efisien penggunaan energi dalam proses produksi. Penggunaan energi lebih efisien dari berbagai sumber dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing produk industri. Sekaligus mendukung kedaulatan energi nasional sebagaimana telah dicanangkan oleh Presiden Prabowo,” ungkap Agus dalam keterangan resmi, Selasa (17/6).

Baca Juga: Siapa Lebih Perkasa? Ini Perbandingan Kekuatan Militer Iran vs Israel

Di samping menggunakan energi secara efisien, Kemenperin mendorong pelaku industri mendiversifikasi sumber energi yang digunakan dalam produksi. “Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif,” tambah Agus.

Selain itu, Kemenperin terus mendorong agar sektor manufaktur dapat menghasilkan produk-produk yang mendukung program ketahanan energi nasional. Antara lain mesin pembangkit, infrastruktur energi, dan komponen pendukung energi terbarukan.

Di sektor pangan, Agus menyoroti urgensi hilirisasi produk agro sebagai respons strategis terhadap dampak tidak langsung perang Iran–Israel terhadap ekonomi global. Agus mengingatkan tiga faktor: logistik, inflasi, dan nilai tukar secara langsung bisa meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor.

"Maka jawabannya adalah hilirisasi produk pangan dalam negeri. Industri kita harus mengambil peran dalam memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku pangan impor,” terang Agus.

Menperin juga menghimbau industri dalam negeri untuk memanfaatkan fasilitas Local Currency Settlement (LCS) menghadapi inflasi dalam input produksi. Industri dapat memanfaatkan fasilitas Bank Indonesia (BI) tersebut guna mengantisipasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama pada negara-negara yang telah menandatatangi LCS dengan Indonesia.

Baca Juga: Konflik Israel-Iran Memanas, AAUI Imbau Asuransi Umum Lakukan Langkah Ini

Industri yang Berpotensi Terdampak

Kemenperin secara khusus menyoroti dampak konflik terhadap rantai pasok global. Rute perdagangan maritim kritis termasuk Selat Hormuz yang menangani 30% pengiriman minyak global, serta Terusan Suez sebagai jalur bagi 10% perdagangan dunia, berisiko mengalami gangguan.

Serangan baru-baru ini terhadap kapal komersial telah memaksa pengalihan rute melalui Tanjung Harapan di Afrika. Menambah waktu pengiriman Asia-Eropa sebanyak 10 hari-15 hari dan meningkatkan biaya kontainer sebesar 150%-200%.

Gangguan tersebut bisa berdampak pada sejumlah sektor industri. Contohnya otomotif dan elektronik, yang bergantung pada komponen impor untuk 65% produksinya. Tantangannya adalah menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu, yang berpotensi menimbulkan kerugian ekspor sebesar US$ 500 juta.

Selanjutnya, industri tekstil dan alas kaki yang merupakan salah satu penghasil ekspor utama. Tantangannya adalah potensi margin laba yang menyusut 5%-7% akibat kenaikan biaya logistik, mengurangi daya saing dibandingkan pesaing regional seperti Vietnam dan Bangladesh.

Sementara itu, sektor nikel dan baja menghadapi kenaikan biaya transportasi batubara sebesar 15% - 20% serta penundaan pengiriman tiga hingga empat minggu, mengancam kerugian ekspor sebesar US$ 1,2 miliar.

Di bidang pangan, ada risiko dari impor gandum, yang mencapai 11 juta metrik ton per tahun, dengan 60% berasal dari wilayah dekat zona konflik. Hal ini berkontribusi pada kenaikan harga roti sebesar 8%.

Baca Juga: Ketegangan Memuncak! Slovakia dan Ceko Evakuasi Warganya dari Israel

Indonesia juga mengimpor pupuk dan bahan baku pupuk berbasis NPK, seperti fosfat, perkiraan sekitar 64%. Di antaranya berasal dari Mesir yang terletak strategis di kawasan Timur Tengah.

Selain Mesir, Indonesia juga mengimpor sejumlah kecil bahan baku pupuk dari negara-negara Timur Tengah lainnya. Meskipun volume impor dari negara-negara tersebut relatif kecil, potensi dampaknya tetap signifikan apabila terjadi konflik di kawasan tersebut.

Konflik di Timur Tengah dapat mengganggu rantai pasok global, yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan lonjakan harga pupuk di dalam negeri dan mempengaruhi sektor pertanian nasional. Kekurangan berkepanjangan dapat mengurangi hasil panen padi sebesar 10%-15%.

Di tengah kondisi tersebut, Agus menyampaikan dukungan pemerintah akan terus diberikan dalam bentuk insentif, fasilitasi investasi, hingga kebijakan fiskal untuk mempercepat transformasi industri ke arah yang lebih efisien dan berdaya saing. “Ketahanan pangan dan energi bukan hanya tanggung jawab sektor primer, tapi juga sektor industri,” tandas Agus.

Selanjutnya: LPEM FEB UI Proyeksi BI Pertahankan Suku Bunga Acuan di Level 5,5%

Menarik Dibaca: Resep Sate Lilit Ayam yang Lembut dan Wangi, Sajian Spesial untuk Keluarga Tercinta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×