kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.044.000   9.000   0,44%
  • USD/IDR 16.451   12,00   0,07%
  • IDX 7.867   -18,52   -0,23%
  • KOMPAS100 1.102   -2,88   -0,26%
  • LQ45 800   1,11   0,14%
  • ISSI 269   -0,86   -0,32%
  • IDX30 415   0,50   0,12%
  • IDXHIDIV20 482   1,02   0,21%
  • IDX80 121   -0,09   -0,07%
  • IDXV30 132   -1,13   -0,85%
  • IDXQ30 134   0,17   0,13%

Ketidakpastian Harga Pangan Ancam Daya Beli Masyarakat dan UMKM


Kamis, 04 September 2025 / 21:55 WIB
Ketidakpastian Harga Pangan Ancam Daya Beli Masyarakat dan UMKM
ILUSTRASI. Fluktuasi harga komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, hingga kacang tanah dinilai bukan hanya merugikan konsumen, tetapi juga UMKM. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Fluktuasi harga sejumlah komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, hingga kacang tanah dinilai bukan hanya merugikan konsumen, tetapi juga mengancam kelangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor makanan.

Dalam sebulan terakhir, sejumlah komoditas pangan mengalami fluktuasi harga. Sebut saja harga beras medium yang sempat melambung melebihi harga eceran tertinggi (HET) dan jagung yang juga melebihi harga acuan pembelian (HAP) akibat kelangkaan stok.

Saat ini, Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat harga beras medium nasional berada di level Rp 14.085 per kilogram (kg), masih di atas HET Rp 13.500 per kg. Tak jauh beda, harga jagung peternak nasional kini berada di level Rp 6.599 per kg, di atas HAP Rp 5.800 per kg. 

Terbaru, Badan Karantina Indonesia menghentikan impor kacang tanah dari India per 3 September 2025 lalu, yang mana ini berisiko memengaruhi stok dan harga di pasar. 

Baca Juga: Berikut Komoditas Penyumbang Surplus dan Defisit Neraca Perdagangan Hingga Juli 2025

Nah, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian menilai kenaikan harga pangan ini berisiko memicu inflasi dan pada gilirannya menekan daya beli masyarakat. 

“Rumah tangga miskin dan rentan miskin paling rentan terdampak karena sekitar 50%–60% penghasilannya habis untuk belanja makanan. Akibatnya mereka sulit menabung atau berinvestasi di pendidikan maupun kesehatan, dan akhirnya terjebak dalam mode survival,” ujar Eliza kepada Kontan, Kamis (4/9/2025).

Selain itu, volatilitas harga bahan pangan juga membuat UMKM pengolahan makanan, seperti warteg maupun usaha kuliner, menghadapi ketidakpastian. Margin keuntungan jadi tak menentu sebab pelaku usaha tak bisa asal menaikkan harga jual jika tak ingin kehilangan konsumen. 

Akibatnya, daya saing usaha melemah, investasi menurun, dan pada gilirannya keberlanjutan usaha terancam. 

Dus, persoalan fluktuasi harga pangan di negara berkembang macam Indonesia ini berisiko memperburuk kemiskinan, sebagaimana UMKM sejatinya merupakan tulang punggung ekonomi lokal. 

“Dampaknya bukan sekadar naik-turun harga, melainkan ancaman struktural terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” tegas Eliza.

Untuk mengurangi risiko tersebut, ia menilai pemerintah perlu memperkuat stok penyangga nasional bagi komoditas strategis seperti beras, jagung, cabai, bawang merah, ayam, dan telur. Mekanismenya, pemerintah membeli surplus saat harga rendah dan melepas stok ketika harga melonjak. 

Ia tak menampik ini membutuhkan investasi besar untuk logistik dan pergudangan, dalam hal ini kaitannya dengan Bulog. Namun, dengan kepastian stok, petani dapat menjaga kestabilan harga sehingga konsumen tak perlu khawatir soal harga. 

Baca Juga: Indonesia Paling Banyak Impor Komoditas Non Migas dari China, Jepang dan AS

Selain itu, Eliza menyarankan penerapan kuota impor adaptif untuk komoditas sensitif. Skemanya, impor hanya dibuka jika produksi domestik kurang dari 90% kebutuhan, sambil tetap memberikan tarif protektif guna melindungi petani. 

Di sisi lain, pemerintah juga perlu menambah alokasi anggaran infrastruktur pertanian, terutama irigasi, yang hingga kini dinilai masih minim.

Pun tak kalah penting, pembenahan basis data pangan harus segera dilakukan, mulai dari produksi, distribusi hingga level pengecer. Menurut Eliza, lemahnya data membuat pasar komoditas rawan spekulan. 

“Pasar pertanian kita cenderung oligopoli. Harga tidak mencerminkan kondisi riil karena adanya asimetri informasi. Dengan data yang kuat, pemerintah bisa lebih cepat melakukan intervensi,” tandasnya.

Selanjutnya: Wall Street Lesu Usai Rilis Data Tenaga Kerja Melemah, Saham Salesforce Jadi Pemberat

Menarik Dibaca: 7 Rekomendasi Aplikasi Survey Online Berbayar untuk Tambah Penghasilan, Catat Segera

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
BOOST YOUR DIGITAL STRATEGY: Maksimalkan AI & Google Ads untuk Bisnis Anda! Business Contract Drafting

[X]
×