kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.412.000   -13.000   -0,54%
  • USD/IDR 16.645   2,00   0,01%
  • IDX 8.612   -5,26   -0,06%
  • KOMPAS100 1.185   -4,75   -0,40%
  • LQ45 849   -5,56   -0,65%
  • ISSI 307   1,40   0,46%
  • IDX30 438   -1,12   -0,26%
  • IDXHIDIV20 508   -0,68   -0,13%
  • IDX80 132   -0,67   -0,50%
  • IDXV30 139   -0,07   -0,05%
  • IDXQ30 139   -0,10   -0,07%

Ketidakpastian Global Masih Akan Bayangi Ekonomi RI hingga 2027


Rabu, 03 Desember 2025 / 17:21 WIB
Ketidakpastian Global Masih Akan Bayangi Ekonomi RI hingga 2027
ILUSTRASI. Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry memprediksi ketidakpastian global membayangi ekonomi Indonesia hingga 2027. Pahami risiko geopolitik, de-dolarisasi, dan siklus ekonomi. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/27/11/2025


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Ketidakpastian global dinilai masih akan membayangi perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.

Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry, menegaskan bahwa kondisi ekonomi global saat ini masih rentan dan penuh volatilitas, dipicu oleh beragam konflik geopolitik serta dinamika kebijakan ekonomi oleh negara-negara besar.

Ia menyoroti bahwa konflik dan ketegangan yang terjadi di berbagai kawasan dunia telah menciptakan ketidakpastian yang signifikan, sehingga menyulitkan upaya proyeksi ekonomi.

“Presiden kita menyampaikan bahwa telah terjadi lebih dari 60 misalnya military conflict di global. Hal tersebut kemudian menyebabkan sangat sulit memprediksi atau proyeksi perekonomian global dan juga domestik,” tutur Andry dalam Mandiri Macro and Market Brief 4Q25, Rabu (3/12/2025).

Baca Juga: OECD: Ekonomi RI dan Asia Tenggara Melampaui Proyeksi Meski Tekanan Global Tinggi

Menurut Andry, ketidakpastian tersebut berpotensi berlangsung dalam jangka menengah. Ia memprediksi bahwa kondisi perekonomian, baik global maupun nasional, pada 2026 dan 2027 dapat mencerminkan pola yang sama seperti tahun ini.

Risiko Geopolitik dan Geoeconomics Masih Meningkat

Andry menilai bahwa risiko global masih relatif meningkat karena eskalasi konflik di Eropa, Timur Tengah, maupun Asia. Situasi tersebut diperburuk oleh meningkatnya risiko geoeconomics, termasuk perang dagang dan kebijakan tarif.

Arah dinamika ini, menurutnya, sangat bergantung pada kebijakan negara-negara besar, terutama Amerika Serikat (AS). Persaingan strategis antara AS dan China dipandang dapat memberikan tekanan signifikan pada negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dampak volatilitas tersebut dinilai akan mempengaruhi tiga aspek utama, yakni jalur perdagangan internasional, arus foreign direct investment (FDI), serta investasi portofolio di pasar ekuitas dan surat utang.

Bangkitnya Middle Powers dan Tren De-Dolarisasi

Lebih jauh, Andry membeberkan bahwa terdapat ekspektasi bangkitnya negara-negara berstatus middle powers yang berupaya menyeimbangkan ketergantungan terhadap AS. Salah satunya terlihat melalui gerakan de-dolarisasi yang semakin menguat.

“Seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (South Africa). Dalam kerjasama ini tentu saja akan meninggalkan atau mulai mengurangi penggunaan dari dollar AS itu sendiri,” ungkapnya.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Diprediksi Hanya Tumbuh 5,1% pada 2025 dan 5,2% pada 2026

Menurutnya, fenomena ini dapat menciptakan lanskap finansial global yang baru, sekaligus berpotensi mempengaruhi stabilitas pasar keuangan.

Siklus Ekonomi Semakin Pendek dan Sulit Diprediksi

Selain risiko geopolitik, tantangan makroekonomi juga dinilai semakin kompleks. Andry menjelaskan bahwa siklus ekonomi global kini menjadi lebih pendek, dengan fase pertumbuhan dan pelemahan yang terjadi lebih cepat dari sebelumnya.

Ia mencontohkan volatilitas tajam yang terjadi pada pasar saham global pada April 2025, sebelum kembali menunjukkan pemulihan.

“Pertanyaannya adalah apakah itu akan terus berlanjut atau tidak? Tentu saja ini memang menekankan bahwa kita sudah tidak bisa lagi mengenal yang namanya siklus 10 tahunan, 5 tahunan misalnya,” jelasnya.

Menurut Andry, percepatan siklus ini perlu diantisipasi oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pelaku usaha, perbankan, hingga investor ritel.

Risiko Iklim dan Teknologi Ikut Menambah Kompleksitas

Selain faktor global, risiko domestik juga dipandang semakin berkembang. Ia menyoroti adanya perubahan dalam regulasi dan prioritas pemerintah yang perlu dicermati oleh pelaku ekonomi.

Baca Juga: OECD Proyeksikan Ekonomi Indonesia Tumbuh 5% pada 2025-2026, dan 5,1% pada 2027

Di sisi lain, risiko perubahan iklim dinilai semakin nyata dan berdampak pada biaya mitigasi di berbagai sektor. Perusahaan dan pemerintah perlu menyiapkan strategi penanggulangan agar risiko tersebut tidak menghambat pertumbuhan ekonomi.

Risiko teknologi juga turut menjadi perhatian penting, mulai dari isu privasi dan keamanan data hingga maraknya ancaman penipuan digital, termasuk judi online dan pinjaman online.

Pertumbuhan Ekonomi Diproyeksi Moderat

Ekonom Bank Mandiri memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 hanya akan berada pada kisaran 5% hingga 5,1%, dan 2027 mencapai 5,2%.

Proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan target dalam Asumsi Ekonomi Makro APBN 2025 sebesar 5,2%, serta APBN 2026 sebesar 5,4%. Hal ini mencerminkan kewaspadaan terhadap dampak ketidakpastian global dan domestik yang masih tinggi.

Selanjutnya: IHSG Diproyeksi Bisa Tembus ke 10.000, Ini 5 Sektor Pilihan JP Morgan di 2026

Menarik Dibaca: Promo Alfamart Kebutuhan Dapur 1-15 Desember 2025, Sajiku Bumbu Beli 3 Gratis 1

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×