Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pendiri Kompas Gramedia dan seorang tokoh pers Indonesia, Jakob Oetama, wafat pada Rabu (9/9) siang ini. Jakob Oetama meninggal dunia di Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta.
Jakob Oetama wafat dalam usia 88 tahun. Pak JO, demikian beliau sering disapa, lahir di Magelang, 27 Desember 1931.
Sebagai sebuah refleksi atas nilai yang telah diwariskan Jakob Oetama, redaksi Kompas.com menyajikan rangkaian tulisan mengenai perjalanan hidup Jakob Oetama.
Tulisan tidak hanya merangkum perjalanan hidupnya dalam membesarkan Kompas Gramedia yang didirikannya. Namun, tulisan juga merangkun warna kehidupannya sebagai seorang pendidik, seorang wartawan, dan seorang pengusaha.
Meski begitu, peran terakhirnya selalu dijalani dengan kerendahan hati. Sebab, seorang Jakob Oetama lebih senang dan bangga disebut wartawan, ketimbang pengusaha.
Baca Juga: Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama meninggal dunia
---
Berawal dari Intisari
Eratnya persahabatan Jakob Oetama dengan Petrus Kanisius Ojong bisa jadi berawal dari kesamaan pandangan politik dan nilai kemanusiaan yang dianut. Hal itu juga yang menjadikan Jakob dan Ojong melahirkan majalah Intisari, yang edisi perdananya terbit pada 17 Agustus 1963.
Duet Jakob dan Ojong sepakat untuk melahirkan majalah berlandaskan kemanusiaan, yang berisi saripati ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Selain itu, Intisari dibuat sebagai pandangan politik keduanya yang menolak belenggu terhadap masuknya informasi dari luar.
Baca Juga: Seabad PK Ojong: Karyawan, telur rebus dan kacang hijau
Intisari dimaksudkan untuk menjadi pendobrak politik isolasi yang dilakukan pemerintahan Soekarno saat itu. Namun, bukan dengan tulisan yang menyerang, melainkan "tedeng aling-aling".
Ojong dan Jakob merasa perlu hadirnya media yang memuat artikel yang membuka mata dan telinga masyarakat. Sebuah media yang kaya dengan gaya human story, penuh nilai kemanusiaan.
Namun, kehadiran Intisari tampaknya belum cukup. Sebab, beberapa tahun kemudian duet Jakob-Ojong melahirkan koran yang dimaksudkan dapat menjadi alternatif, pilihan lain dari banyaknya media partisan yang terbentuk akibat kondisi politik pasca-Pemilu 1955 itu.
Baca Juga: Seabad PK Ojong: Wartawan, cendikiawan, usahawan
Kelak, koran itu dikenal dengan nama Kompas. Dampak polarisasi politik Dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir (2011), kehadiran Kompas berawal dari situasi politik yang terbilang tegang dan begitu terpolarisasi ketika itu. Setelah keluarnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, setidaknya ada tiga kekuatan politik besar.
Pertama, adalah Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Dekrit Presiden menyebabkan konsolidasi kekuasaan dan politik terpusat kepada Bung Karno, yang menjalankan praktik demokrasi terpimpin.
Baca Juga: 87 tahun Jakob Oetama dan era banjir informasi
Kedua, adalah Partai Komunis Indonesia yang merapat pada Bung Karno. PKI juga memiliki sejumlah media yang menjadi corong partai dan menyebarkan pemikirannya secara masif. Dalam beberapa hal, pemikiran itu dinilai cenderung membelenggu masuknya informasi dari luar.
Ketiga, adalah kekuatan ABRI yang berusaha meredam kekuatan politik PKI. ABRI berusaha menjalin kerja sama dengan organisasi masyarakat dan politik yang non atau anti-komunis.
Menurut penuturan mantan Menteri Perkebunan Frans Seda, ide mengenai perlunya kehadiran koran non-partai muncul atas permintaan Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani. Frans Seda yang sewaktu itu mewakili Partai Katolik pun diminta Ahmad Yani dengan tujuan itu. Selanjutnya, Frans Seda menemui Ketua Umum Partai Katolik Ignatius Joseph Kasimo untuk merealisasikan ide tersebut.
Miniatur Indonesia
Duet Jakob Oetama dan PK Ojong yang saat itu sudah mendirikan Intisari kemudian dilibatkan dalam ide yang digulirkan Ahmad Yani.
Awalnya, Jakob dan Ojong menolak permintaan itu. Jakob menulis alasannya dalam Tajuk Rencana di Kompas, yang juga sebagai obituari dalam mengenang PK Ojong. "Kami berdua sebenarnya enggan menerima permintaan menerbitkan surat kabar Kompas. Lingkungan politik, ekonomi, dan infratruktur pada masa itu tidak menunjangnya," tulis Jakob pada koran yang terbit 2 Juni 1980 itu.
Baca Juga: Wapres Jusuf Kalla meresmikan Menara Kompas
Namun, keduanya kemudian sepakat. Dengan catatan, koran baru itu bukan corong partai, berdiri di atas semua golongan, bersifat umum, dan berdasarkan kemajemukan Indonesia. "Dia harus mencerminkan miniaturnya Indonesia," ucap Jakob saat itu.
Ketika kesepakatan itu dicapai, maka dibentuklah Yayasan Bentara Rakyat. Nama itu terinspirasi dari majalah Bentara yang populer di Flores. Sedangkan menurut Jakob, nama "Bentara" terinspirasi dari seorang penulis bernama Kanis Pari, yang sering menulis di majalah itu.
Baca Juga: Anugerah untuk Jakob Oetama
"Saya kagum pada konsistensi sikapnya tentang Indonesia," ujarnya.
Pemberian Bung Karno
Setelah ide disepakati dan rancangan dijalankan, tahap berikutnya adalah proses mendapatkan izin. Salah satu persyaratan yang dilakukan dengan kerja keras adalah bukti adanya pelanggan, setidaknya berdasarkan 3.000 tanda tangan.
Berkat bantuan Frans Seda, persyaratan itu dipenuhi. Izin pun didapat. Meski begitu, masih ada semacam fatsoen politik yang harus dijalani. Frans Seda merupakan anggota kabinet. Saat Presiden Soekarno mendengar bahwa Frans Seda akan membuat koran, Frans pun melaporkan rencana itu.
Baca Juga: 85 tahun Jakob Oetama
Saat ditanya tentang nama koran yang akan dibuat, Frans Seda menjawab, "Bentara Rakyat, Bung!"
Rupanya, Bung Karno tidak keberatan dengan lahirnya koran itu. Malah, Bung Karno menjadi sosok yang melahirkan nama koran yang kini menjadi koran terbesar di Indonesia. "Aku akan memberi nama yang lebih bagus. 'Kompas'. Tahu toh apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba.." ujar Soekarno.
Di saat terakhir, ketika dummy dengan logo Bentara Rakyat siap dicetak, usulan itu disampaikan. Kemudian, ide nama dari Bung Karno itu diterima. Wartawan Kompas kala itu, Edward Linggar, langsung menyiapkan logo dalam semalam.
Baca Juga: UMN bangun gedung hemat energi
Logo itu disetujui Jakob dan Ojong, dan dipakai hingga sekarang, meskipun ada sejumlah perubahan kecil terkait tebal/tipisnya huruf. Dengan kerja keras dan ketekunan, Jakob dan Ojong pun membesarkan Kompas hingga dikenal seperti sekarang.
Selain besar dari sisi bisnis, keduanya tetap menanamkan pentingnya nilai kemanusiaan dan etika jurnalistik tinggi dalam setiap laporan yang ditulis Kompas. Jakob selalu menekankan, pengembangan bisnis harus sejalan dengan kepercayaan pembaca. Oleh karena itu, menjadi media yang dipercaya merupakan salah satu nilai yang dikedepankan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jakob Oetama, PK Ojong, dan Sejarah di Balik Lahirnya "Kompas""
Penulis : Bayu Galih
Selanjutnya: Jakob Oetama raih gelar Doktor Honoris Causa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News