Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Ojong dan Jakob merasa perlu hadirnya media yang memuat artikel yang membuka mata dan telinga masyarakat. Sebuah media yang kaya dengan gaya human story, penuh nilai kemanusiaan.
Namun, kehadiran Intisari tampaknya belum cukup. Sebab, beberapa tahun kemudian duet Jakob-Ojong melahirkan koran yang dimaksudkan dapat menjadi alternatif, pilihan lain dari banyaknya media partisan yang terbentuk akibat kondisi politik pasca-Pemilu 1955 itu.
Baca Juga: Seabad PK Ojong: Wartawan, cendikiawan, usahawan
Kelak, koran itu dikenal dengan nama Kompas. Dampak polarisasi politik Dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir (2011), kehadiran Kompas berawal dari situasi politik yang terbilang tegang dan begitu terpolarisasi ketika itu. Setelah keluarnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, setidaknya ada tiga kekuatan politik besar.
Pertama, adalah Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Dekrit Presiden menyebabkan konsolidasi kekuasaan dan politik terpusat kepada Bung Karno, yang menjalankan praktik demokrasi terpimpin.
Baca Juga: 87 tahun Jakob Oetama dan era banjir informasi
Kedua, adalah Partai Komunis Indonesia yang merapat pada Bung Karno. PKI juga memiliki sejumlah media yang menjadi corong partai dan menyebarkan pemikirannya secara masif. Dalam beberapa hal, pemikiran itu dinilai cenderung membelenggu masuknya informasi dari luar.
Ketiga, adalah kekuatan ABRI yang berusaha meredam kekuatan politik PKI. ABRI berusaha menjalin kerja sama dengan organisasi masyarakat dan politik yang non atau anti-komunis.
Menurut penuturan mantan Menteri Perkebunan Frans Seda, ide mengenai perlunya kehadiran koran non-partai muncul atas permintaan Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani. Frans Seda yang sewaktu itu mewakili Partai Katolik pun diminta Ahmad Yani dengan tujuan itu. Selanjutnya, Frans Seda menemui Ketua Umum Partai Katolik Ignatius Joseph Kasimo untuk merealisasikan ide tersebut.