Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu temuan Indonesia Water Institute (IWI) dalam kajian bertajuk “Study of Clean Water Consumption Patterns during Covid-19 Pandemic” adalah ada kecenderungan masyarakat memanfaatkan air minum dalam kemasan (AMDK), selama masa pandemi ini sebagai alternatif sumber air minum.
Menurut Founder and Chairman IWI, Firdaus Ali, dengan adanya peningkatan konsumsi AMDK ini dan temuan terkait dengan keberadaan mikro/nano plastik dalam beberapa sample AMDK, perlu juga dicermati aspek keamanan penggunaan kemasan plastik pada AMDK. Misalnya plastik jenis polycarbonat, di dalamnya terkandung Bisphenol A (BPA) yang berfungsi agar botol tidak mudah rusak ketika jatuh.
Menurut Firdaus Ali, keberadaan BPA dalam AMDK memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat di luar maupun di dalam negeri. Pasalnya, kandungan BPA dalam kemasan plastik kerap dikaitkan dengan risiko gangguan kesehatan. “BPA diduga berdampak kepada risiko penyakit gangguan hormon, kanker, kelainan organ reproduksi, dan gangguan sistem imun serta perilaku pada bayi atau anak kecil,” kata Firdaus Ali dalam keterangannya, Kamis (18/2).
Baca Juga: Kemendagri pastikan pelantikan kepala daerah akan dilakukan serentak namun bertahap
Para peneliti di luar negeri sedang mendalami keberadaan BPA dalam rantai pangan dalam hal ini minuman dalam kemasan plastik yang dapat menyebabkan beberapa penyakit tertentu seperti kanker, gangguan hormon, auto imun, dan penyakit lainnya.
Menurut Firdaus Ali, penelitian terkait dengan keberadaan BPA dalam AMDK masih terbatas di Indonesia. "Sama seperti temuan mikro plastik atau bahkan nano plastik dalam air minum, khususnya AMDK yang baru 3 tahun terakhir ini marak dibicarakan," ujarnya.
Beberapa otoritas obat dan makanan di luar negeri sejak 10 tahun lalu sudah mulai meregulasi dan memberlakukan standar yang ketat terkait dengan parameter BPA ini dan meminta industri mengganti bahan kemasan plastik minuman dengan Bisphenol-S (BPS) atau Bisphenol F (BPF).
Firdaus Ali mengatakan di beberapa negara maju masih memberikan toleransi penggunaan kemasan plastik untuk pangan (air dan makanan). Kendati demikian, lanjut Firdaus, mereka memberikan restriksi yang ketat dan mewajibkan pihak produsen mencantumkan label notifikasi pada kemasan yang menerangkan bahwa kemasan yang terbuat dari plastik mungkin mengandung BPA dalam kadar yang relatif rendah.
Baca Juga: Jokowi resmikan Bendungan Tapin, proyek yang menelan dana hampir Rp 1 triliun
Meski demikian, tetap harus dihindari untuk konsumen usia belia dan ibu hamil/menyusui yang biasanya memanaskan air pada wadah plastik dengan peralatan pemanas elektronik atau mengisi air panas ke dalam botol plastik atau bahkan mengonsumsi AMDK yang ditinggal dalam kendaraan yang terpapar dengan temperatur cukup tinggi.
“Dengan demikian otoritas harusnya bisa mencerdaskan konsumen melalui informasi dan peringatan pada label misalnya,” tegas Firdaus Ali.
Firdaus Ali menambahkan, beberapa pakar juga mengkuatirkan potensi kontaminasi BPA pada AMDK dan makanan karena cukup signifikannya potensi cemaran mikro dan nano plastik yang berasal dari plastik kemasan yang diproduksi di bawah standar, serta AMDK tidak disimpan di tempat yang aman.
“Temperatur tinggi dalam penyimpanan di gudang atau dalam kendaraan atau jika botol diisi air panas berpotensi larutnya BPA dari plastik ke cairan dalam kemasan tersebut,” imbuhnya.
Baca Juga: Jusuf Kalla: Waktu zaman saya pasti tidak ada buzzer
Di tengah pro dan kontra terkait keberadaan dan resiko kesehatan BPA dalam makanan minuman khususnya AMDK, IWI meminta pemerintah harus dengan sangat hati-hati dan cerdas merumuskan sebuah regulasi yang tujuannya melindungi jangka panjang terhadap masyarakat.
"Karena dampak kesehatan dari keberadaan pencemar kimia seperti BPA baru akan terlihat di kemudian hari," kata Firdaus Ali.
Sebelumnya Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mewanti-wanti agar konsumen melihat apakah AMDK yang akan dikonsumsi tersebut telah mencantumkan logo SNI atau belum. “Kalau sudah ada SNI pasti amanlah, karena food grade-nya sudah terpenuhi,” tegas Tulus.
Selanjutnya: Revisi UU ITE, PKB: Kami setuju
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News