Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah tekanan ekonomi yang menghimpit, masyarakat Indonesia menemukan pelarian baru dengan belanja barang-barang kecil yang memberi kesan kemewahan.
Fenomena ini dikenal dengan istilah lipstick effect, di mana konsumen tetap berburu barang-barang seperti kosmetik premium, produk edisi terbatas, hingga makanan ringan dengan kemasan ekslusif sebagai bentuk self reward.
Fenomena ini semakin diperparah oleh praktik doom spending, yakni ketika masyarakat menghabiskan uang tanpa rencana yang matang dan sering kali didorong oleh stres atau kecemasan akan ketidakpastian masa depan.
Baca Juga: Lipstick Effect: Pengertian, Hubungan Kondisi Ekonomi, dan Bahaya di Masa Depan
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan bahwa fenomena lipstick effect ini sebenarnya mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia beradaptasi secara emosional di tengah tekanan ekonomi.
"Kita melihat masyarakat tetap mencari luxury kecil sebagai bentuk pelarian atau self-reward, terutama pada produk lifestyle seperti barang edisi terbatas atau kosmetik premium," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Jumat (3/1).
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan bagaimana masyarakat berusaha memberikan self reward atau pelarian emosional melalui belanja produk yang memberi kepuasan, meskipun situasi keuangan mereka sedang tertekan.
Yusuf mengatakan, pengaruh media sosial dan tren FOMO (Fear of Missing Out) semakin mendorong masyarakat untuk membeli barang-barang tersebut.
Baca Juga: Ini Sektor Industri yang Diramal Memiliki Kinerja Moncer pada Tahun Kelinci Air
Apalagi dengan adanya fasilitas kredit dan BNPL (Buy Now Pay Later), mereka lebih mudah mengakses produk-produk tersebut meski daya beli sedang menurun.
"Akibatnya, kita melihat pergeseran prioritas konsumsi dari yang seharusnya esensial ke hal-hal yang sifatnya lebih tersier," katanya.
Namun, Yusuf mengingatkan bahwa ada risiko besar jika konsumsi ini didorong oleh utang, bukan pendapatan yang nyata. Hal ini bisa menyebabkan tumpukan utang yang tidak produktif, yang pada akhirnya bisa menguras tabungan dan dana darurat.
"Saya khawatir dalam jangka panjang, masyarakat yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif ini akan menghadapi kesulitan finansial, terutama jika terjadi penurunan ekonomi yang lebih parah," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Jumat (3/1).
Yusuf menilai, gaya hidup tersebut juga dapat memperlebar jarak antara kemampuan finansial yang sebenarnya dan ekspektasi sosial yang diciptakan oleh media sosial, sehingga semakin menekan individu untuk terus mengikuti tren demi terlihat mampu di mata orang lain.
Baca Juga: Sektor Industri Ini Berpotensi Raup Cuan Optimal di Tahun Kelinci Air
Dari sisi sektor ekonomi, fenomena lipstick effect turut berpengaruh, meskipun dampaknya lebih terbatas dan bersifat sektoral.
Dalam kondisi daya beli menurun, konsumen cenderung mengalihkan pengeluarannya dari barang-barang mahal ke barang-barang kecil yang memberikan kepuasan sesaat.
Hal ini mendorong pertumbuhan sektor tertentu seperti kosmetik, makanan ringan, dan barang konsumsi cepat habis (FMCG). Namun, Yusuf menekankan bahwa dampak dari fenomena ini terhadap ekonomi secara keseluruhan cenderung terbatas.
"Barang-barang kecil memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah dibandingkan barang mahal, sehingga kontribusinya terhadap PDB relatif kecil," imbuh Yusuf.
Yusuf menambahkan, fenomena lipstick effect menciptakan pola konsumsi yang mungkin tidak mengubah banyak hal dalam basket konsumsi secara keseluruhan, hanya saja mengarahkan pola belanja pada barang-barang yang memberikan hiburan sesaat.
Selanjutnya: Ada Net Sell Asing Rp 571 Miliar Saat IHSG Naik Tipis 0,02%, Jumat (3/1)
Menarik Dibaca: Cara Bijak Investasi di Pasar Saham, Ini Tips dari BNI Sekuritas!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News