Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah dihadapkan pada dilema fiskal menjelang akhir tahun 2025. Di satu sisi, berbagai kebijakan insentif digelontorkan untuk menjaga daya beli dan menggerakkan ekonomi.
Namun di sisi lain, langkah tersebut berpotensi menekan laju penerimaan pajak yang sudah melambat sejak awal tahun.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai, pemerintah menghadapi tantangan berat dalam menjaga stabilitas penerimaan pajak menjelang akhir tahun.
Hingga Agustus 2025, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.135,4 triliun atau sekitar 52% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun.
Baca Juga: Penerimaan Pajak Seret, Aset Negara Diusulkan Jadi Alternatif Sumber Penerimaan
Dari hitungannya, dengan sisa waktu empat bulan hingga Desember, pemerintah harus menghimpun sekitar Rp 1.053,9 triliun untuk menutup target, atau setara Rp 263 triliun per bulan pada periode September–Desember.
"Angka ini hampir dua kali lipat dari rata-rata realisasi bulanan selama delapan bulan pertama tahun ini," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Senin (6/10/2025).
Di sisi lain, pemerintah memang cenderung mendorong konsumsi pada akhir tahun melalui berbagai insentif fiskal seperti perpanjangan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor properti, diskon pajak pariwisata, serta insentif transportasi dan belanja langsung.
Menurut Ariawan, langkah tersebut positif untuk menjaga daya beli masyarakat dan memperkuat momentum ekonomi.
"Namun, kebijakan insentif yang terlalu luas dapat menekan penerimaan pajak bersih dan berpotensi memperlebar shortfall fiskal," katanya.
Ariawan menambahkan, lonjakan penerimaan pajak biasanya terjadi pada kuartal IV-2025 karena adanya pelunasan Pajak Penghasilan (PPh) Badan, peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor, serta aktivitas penagihan di akhir tahun.
Namun, ia menilai rebound penerimaan tahun ini kemungkinan tidak setajam periode sebelumnya.
"Dengan adanya ekpansi insentif dan restitusi yang tinggi, potensi rebound pajak tahun ini diperkirakan tidak setajam tahun-tahun sebelumnya," terang Ariawan.
Baca Juga: Restitusi Pajak Diprediksi Tembus Rp 456 Triliun Hingga Akhir Tahun 2025
Dalam perhitungan Ariawan, jika rata-rata penerimaan pajak bulanan pada kuartal IV-2025 naik sekitar 1,4 kali dari rata-rata Januari–Agustus atau menjadi sekitar Rp 198,7 triliun per bulan, maka total penerimaan sepanjang tahun diperkirakan mencapai Rp 1.930 triliun.
Artinya, masih ada potensi kekurangan sekitar Rp 259 triliun atau 11,8% dari target APBN.
Realisasi Kemungkinan 90%
Senada, Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebut bahwa realisasi penerimaan pajak kemungkinan besar masih akan berada di kisaran 90% dari target.
Ia menjelaskan, sebagian besar insentif pajak yang dikeluarkan pemerintah belakangan berbentuk Ditanggung Pemerintah (DTP).
Namun, jenis insentif ini dicatat sebagai belanja pemerintah, bukan pengurang penerimaan langsung, meski tetap berimbas terhadap keseimbangan fiskal.
"Pada akhirnya menjadi tantangan yang sama yakni defisit anggaran. Mengingat, defisit APBN perlu dijaga tidak boleh lebih 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)," kata Fajry.
Baca Juga: Tekanan Restitusi Menurun, Penerimaan Pajak Masih Berpotensi Tumbuh
Lebih lanjut, Fajry menilai beberapa insentif DTP, seperti PPh 21 DTP untuk pekerja juga belum tentu efektif dampaknya.
"Mengingat yang mengajukan adalah perusahan (manajemen) namun yang mendapatkan benefit adalah buruh. Tidak ada insentif bagi perusahaan untuk mengajukan karena yang mendapatkan manfaat adalah pekerja atau buruh bukan mereka," imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Laboratorium Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM, Kun Haribowo juga memperkirakan penerimaan pajak akan mengalami shortfall yang cukup besar.
Ia memperkirakan penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) Migas, PPh Pasal 21, dan pajak pertambahan (PPN) Dalam Negeri mengalami shortfall terdalam dibanding jenis penerimaan lainnya, sehingga belum mampu mencapai target penerimaan yang telah ditetapkan.
"Tidak mungkin terkejar dengan capaian saat ini untuk tiga jenis pajak, yakni PPN DN, PPh Migas, dan PPh 21. Restitusi juga lumayan besar tahun ini," kata Kun.
Menurutnya, kondisi tersebut menjadi cerminan bahwa basis penerimaan pajak sedang melemah dan ruang fiskal negara kian terbatas apabila hanya mengandalkan pajak sebagai sumber utama penerimaan.
Baca Juga: Siap-Siap! PT Jalin Bakal Pungut Pajak dari Transaksi Netflix CS
Selanjutnya: Simak Proyeksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Besok Selasa (7/10/2025)
Menarik Dibaca: 5 Makanan yang Mengurangi Risiko Penurunan Kognitif Setelah Usia 55 Tahun, Apa Saja?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News