Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Calon presiden yang memenangkan pesta demokrasi di 2024 akan menentukan keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Dus, investor pun masih cenderung wait and see, karena ingin memastikan bahwa proyek IKN ini bukanlah proyek sementara Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, sembilan insentif pajak yang ditawarkan pemerintah ke investor di IKN cukup menarik. Namun, keberlanjutan dari pembangunan IKN akan menentukan minat para investor untuk berinvestasi di IKN. Pasalnya 2024 adalah tahun terakhir Presiden Jokowi menjabat.
“Tentu investor perlu memastikan bahwa IKN ini bukanlah proyek sementara dari Presiden Jokowi dan statusnya tentu perlu berlanjut sesuai dengan visi pembangunan dari IKN itu sendiri,” tutur Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (4/12).
Menurutnya, kepastian hukum dalam Undang-Undang IKN tidak cukup sebagai landasan untuk meyakinkan para investor. Sebab, bisa saja ada ketidaksamaan visi dan misi pada pemerintahan baru nanti, yang bisa mengakibatkan perubahan dari undang-undang yang berkaitan dengan IKN.
Maka itu, Yusuf menyarankan agar pemerintah harus bisa memastikan proyek IKN adalah proyek yang berkelanjutan dan akan sesuai dengan target yang diusung pemerintahan saat ini.
Baca Juga: Pengamat: Imbal Hasil Investasi Jauh Lebih Penting Ketimbang Insentif Pajak di IKN
Untuk diketahui, sembilan insentif pajak penghasilan (PPh) yang ditawarkan pemerintah diantaranya, tax holiday penanaman modal, financial center IKN, tax holiday pemindahan head quarter, super deduction vokasi, super deduction research and development.
Kemudian, super deducation sumbangan fasos/fasum di IKN, PPh Pasal 21 final ditanggung pemerintah, PPh final 0% untuk UMKM, dan pengurangan PPh penghasilan hak atas tanah/bangunan.
Di sisi yang lain, Yusuf juga menilai, ragam insentif tersebut tidak semuanya dibutuhkan investor. Banyaknya insentif PPh tersebut malah akan menunjukkan Indonesia masih melakukan race to the bottoms, yang merupakan salah satu pilar dari kesepakatan perpajakan internasional.
“Artinya (Indonesia) masih menggunakan skema dengan menurunkan tarif pajak ataupun memberikan insentif pajak yang berlebihan yang bisa berpotensi menggerus potensi penerimaan yang seharusnya bisa didapatkan,” jelasnya.
Di luar mengatur kebijakan IKN, pemerintah juga masih harus memberikan insentif pajak untuk program lain misalnya untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), sehingga perlu diperhitungkan secara matang dan jangan sampai pemberian insentif perpajakan yang besar ini justru mengurus potensi penerimaan yang bisa didapatkan dari berbagai aktivitas perekonomian di IKN ataupun di kebijakan yang lain.
Baca Juga: Intip Lebih Detail 9 Insentif Pajak Penghasilan Bagi Pengusaha di Ibu Kota Nusantara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News