Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - Keputusan Presiden (Kepres) No 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Peneybaran Corona Virus Disease 2019 (Covid -19) Sebagai Bencana Nasional menuai perdebatan hukum.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyatakan, Kepres No 12 Tahun 2020,
tidak bisa secara otomatis menjadi dasar untuk membatalkan dan menyimpangi kontrak-kontrak bisnis, yang sudah dibuat sebelum keluarnya Kepres.
Baca Juga: Apakah pandemi Covid-19 sudah masuk kategori force majeur? Ini kata pengamat hukum
Namun Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) ini menyatakan, Kepres No 12 Tahun 2020 itu yang sifatnya pemberitahuan terjadinya force majeur. "Maka memang menjadi pintu masuk untuk renegosiasi," katanya Selasa (14/4).
Proses renegosiasi itu pun, tetap dengan berpedoman pada ketentuan pasal 1338 Kitab UU Hukum Perdata yang menyatakan bahwa tiap perjanjian yang dibuat secara sah, maka berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya.
Baca Juga: Mahfud MD: Kepres 20/2020 pemberitahuan force majeure bukan otomatis memutus kontrak
"Sehingga tidak otomatis membatalkan kontrak-kontrak yang sudah ada," tandas Mahfud.
SELANJUTNYA>>>
Adapun soal campur tangan negara untuk meringankan pelaksanaan kontrak bagi sebagian masyarkat yang mengalami kesulitan dan problem ekonomi yang terjadi sekarang, sudah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
OJK sudah mengatur tentang tata cara meringankan pembayaran, penudanan pembayaran, penundaan pembayaran bunga dan lain lain. "Dan negara menanggung itu. Untuk itu OJK sudah punya Peraturan OJK No 11/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional," katanya.
Baca Juga: Jokowi dan pemimpin ASEAN gelar KTT Khusus di tengah pandemi Covid-19, ini hasilnya
Mahfud juga menyebutkan adanya surat edaran dari Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non Bank OJK yang mengatur hal itu. "Jadi jangan di salah kaprahkan Keppres sebagai sesuatu yang secara otomatis terhadap kontrak-kontrak yang sudah dilakukan," kata Mahfud
Pengacara Senior Hotman Paris Hutapea juga angkat bicara mengenai polemik Kepres No 12 tahun 2020 ini. Hotman juga mengkritik banyak beredarnya opini yang tidak logis dari corporate lawyer.
Baca Juga: Menkeu Sri Mulyani: Jumlah penduduk miskin bisa naik 3,8 juta, penganguran 5,3 juta
Ia menyebut analisa mereka tanpa dasar dan pengalaman dalam beracara dalam menilai suatu kondisi atau keadaan memaksa. Keadaan memaksa apakah wabah virus korona Covid-19 itu masuk keadaan memaksa? Sehingga banyak bank yang resah karena opini teoritis itu bertentangan," kata Hotman.
Menurut Hotman, kondisi keadaan memaksa sudah banyak dalam putusan pengadilan sebelumnya, atau yurisprudensi di sistem peradilan di Indonesia. Karena itu untuk menetapkan kondisi force majeur atau keadaan memaksa sebaiknya mengacu pada putusan-putusan Mahkamah Agung terdahulu pada kasus-kasus seperti ini.
SELANJUTNYA>>>
Melalui akun Instagramnya Hotman juga mengaku seharian dirinya ditelefon oleh direksi bank maupun debitur. "Mereka menghubungi saya Apakah Kepres 12/2020 bisa termasuk keadaan memaksa?," katanya.
Gimana kalau kredit sudah macet jauh sebelum bencana korona?
A post shared by Dr. Hotman Paris SH MH (@hotmanparisofficial) on
Untuk itulah Hotman menyarankan perlu adanya Kepres terbaru apakah ini tergolong keadaan memaksa atau tidak. Sebab jika tidak hal iniakan menjadi perdebatan seru di pengadilan.
Baca Juga: Anies Baswedan ancam beri sanksi tegas perusahaan masih nekat beroperasi saat PSBB
Berdasarkan catatan KONTAN, keadaan maksa atau force majeur alias overmacht diatur di KUH Perdata,
Pasal 1244 KUH Perdata. pasal ini berbunyi, "Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya."
Baca Juga: Hore! PNS tetap mendapatkan THR Lebaran 2020, tapi cuma eselon III ke bawah
Sementara di Pasal 1245 KUH Perdata menambahkan, bunyinya, "Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya."
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984 menyebut keadaan keadaan memaksa harus memenuhi tiga unsur.
Baca Juga: Gubernur Jakarta Anies Baswedan siap tambah check point untuk penegakan aturan PSBB
- Pertama, tidak terduga,
- Kedua tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban, atau melaksanakan perjanjian,
- Ketiga di luar kesalahan dari pihak tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News